Kolom

Mangrove Kita Mau Dibawa ke Mana?

Randi Syafutra - detikNews
Selasa, 29 Jul 2025 09:02 WIB
Foto: Ilustrasi penanaman mangrove (Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Jakarta -

Ketika tanggal 26 Juli tiba, dunia memperingati Hari Mangrove Sedunia, sebuah momentum refleksi bagi kita tentang benteng hijau pesisir yang terus menyusut. Indonesia sebagai negara dengan tutupan mangrove terluas di dunia, lebih dari tiga juta hektare, seharusnya tampil sebagai teladan.

Namun kenyataannya, sistem tata kelola dan ancaman alih fungsi lahan memperlihatkan dinamika yang mengkhawatirkan.

Data terbaru menyebutkan luas mangrove nasional mencapai sekitar 3,44 juta hektare, di mana hampir 80 persen berada di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan konservasi. Tetapi hanya sekitar 30 persen yang dalam kondisi prima, sementara sisanya mengalami degradasi moderat hingga parah. Dua sumber pendataan nasional pun menunjukkan ketidaksesuaian yang mencolok.

Sementara satu data menyebut luasan sekitar 2,32 juta hektare dengan hanya 30 persen dalam kondisi baik, data lain mencatat 3,36 juta hektare dengan klaim 92 persen tutupan lebat. Kontradiksi ini mencerminkan lemahnya konsistensi data dan transparansi pengelolaan.

Sementara itu, eksploitasi atas nama pembangunan ekonomi menghadirkan cerita pahit. Kawasan mangrove di Batam beralih fungsi menjadi zona industri, reklamasi, pabrik baja, hingga pembangkit listrik tenaga surya. Hal ini secara langsung merusak ekosistem dan menghilangkan sumber mata pencarian masyarakat pesisir.

Di wilayah lain, konversi lahan mangrove ke tambak udang telah berlangsung sejak lama dan secara luas diakui sebagai sumber kerusakan yang sistemik. Tidak hanya menghilangkan tutupan hijau tetapi juga menciptakan tambak terbengkalai dan menambah kerentanan pantai terhadap abrasi.

Di sisi lain, berbagai inisiatif pemulihan mulai berjalan. Perusahaan besar melakukan rehabilitasi hingga ratusan hektare di Kalimantan Selatan, sementara komunitas setempat dan sektor swasta menanam ribuan bibit sebagai bagian dari program ketahanan pesisir dan keuntungan lingkungan.

Pemerintah juga telah menerbitkan peraturan pelindungan ekosistem mangrove, menetapkan target rehabilitasi seperti 600 ribu hektare serta meluncurkan Peta Mangrove Nasional sebagai fondasi perencanaan berbasis bukti.

Namun begitu terasa bahwa upaya itu belum cukup terarah, belum sepenuhnya berdampak, dan sering terkesan seremonial semata. Misalnya, program rehabilitasi besar-besaran sejauh ratusan ribu hektare belum menyasar akar permasalahan seperti tata ruang yang tumpang tindih, lemahnya sanksi terhadap konversi ilegal, dan minimnya partisipasi warga dalam pengelolaan jangka panjang.

Sungguh ironis bahwa di tengah pendekatan hukum yang membuka peluang eksploitasi, seperti keleluasaan izin tambang panas bumi di zona mangrove dan reklamasi untuk proyek strategis, ekosistem mangrove yang seharusnya dilindungi justru terancam berubah menjadi "lahan proyek".

Peraturan memang ada, tetapi dalam detail nampak ada celah hukum yang membuat perlindungan hanya bersifat pasif, sementara realitas lapangan justru menabrak semangat konservasi.

Jika dilihat dari sudut manfaat ekologis, mangrove adalah aset luar biasa. Dengan kapasitas penyerapan karbon hingga empat kali lebih besar daripada hutan daratan biasa, serta perannya sebagai pelindung alami garis pantai, habitat biota laut, dan penyedia mata pencarian masyarakat pesisir, mangrove idealnya menjadi pilar strategi ketahanan iklim nasional.

Bahkan kejadian bencana alam seperti tsunami Aceh atau Palu menunjukkan dengan jelas bahwa komunitas yang memelihara mangrove memiliki dampak kerugian manusia yang jauh lebih rendah.

Dalam menghadapi Hari Mangrove Sedunia 2025, spiritnya bukan sekadar larut dalam penanaman bibit bakau, melainkan refleksi soal keberlanjutan tata kelola. Tanaman ribuan bibit mangrove di Batam, Kendal, Tangerang, dan daerah lain harus diikuti komitmen perawatan dan monitoring jangka panjang.

Upaya yang dilandasi teknologi dan partisipasi masyarakat, seperti penggunaan peta zonasi berbasis data, pembentukan Desa Mandiri Peduli Mangrove dan Kelompok Kerja Mangrove Daerah, harus diintensifkan agar restorasi bukan sekadar simbol tetapi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir.

Upaya kolaboratif pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, komunitas lokal, swasta, dan media bisa menjadi model untuk memperkuat kontrol sekaligus memperluas dampak. Perencanaan strategis misalnya melalui International Mangrove Research Center, serta kemitraan seperti National Blue Carbon Action Partnership, sejatinya membuka peluang Indonesia mengambil peran global dalam mitigasi perubahan iklim berbasis blue carbon.

Tentu, tantangan di tingkat implementasi tetap nyata. Hutan mangrove terus terdegradasi setidaknya 1 persen per tahun secara global. Di Indonesia sendiri hilang hampir 13 ribu hektare per tahun hingga 2022, lebih luas dari luas kota Paris.

Pemerintah pun menyatakan menghentikan penerbitan izin penebangan kayu di ekosistem mangrove, sebuah langkah yang penting namun belum cukup menyeluruh jika tak disertai penegakan hukum yang efektif dan transparan.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, menyelaraskan data. Memastikan data nasional satu suara antara statistik dan peta mangrove agar kebijakan dan strategi rehabilitasi tidak meleset. Kedua, menguatkan perlindungan hukum. Menutup celah izin proyek yang merusak mangrove, serta memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran.

Ketiga, membumikan restorasi berbasis komunitas. Membangun desa mandiri peduli mangrove, melibatkan masyarakat perempuan, generasi muda, dan akademisi dalam monitoring kualitas dan produktivitas hutan bakau. Keempat, memprioritaskan solusi nature based yang mendatangkan manfaat ekonomi dan ekologis. Termasuk pengembangan ekowisata pesisir berbasis mangrove yang inklusif dan berkelanjutan, seperti yang berhasil dilakukan di beberapa kampung pesisir di Kalimantan Timur dan Subang.

Hari Mangrove Sedunia bukan sekadar momen seremonial, tetapi peluang untuk introspeksi dan mempertegas arah kebijakan yang berlandaskan integritas data, tata kelola yang adil, dan pelibatan aktif masyarakat.

Indonesia memiliki modal besar, yaitu tutupan mangrove terluas di dunia, surplus kapasitas carbon sink, dan komunitas pesisir yang hidup beriring dengan alam. Namun jika tidak dikelola dengan visi jangka panjang, modal itu bisa memudar dan malah menjadi warisan kerentanan bagi generasi mendatang.

Selamat memperingati Hari Mangrove Sedunia. Mari jadikan momentum ini sebagai pijakan untuk menggandeng proses kebijakan dan tindakan nyata. Bukan hanya menanam, tetapi merawat. Bukan hanya berbicara, tetapi mengubah. Dengan begitu, mangrove bukan hanya pelindung masa lalu dan masa kini, tetapi juga benih masa depan yang lestari.

Randi Syafutra. Dosen Prodi KSDA Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung.




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork