Indonesia telah menargetkan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk penurunan emisi karbon 29-41% pada 2030, serta berkomitmen untuk berpartisipasi dalam strategi mitigasi perubahan iklim dengan mempertahankan dan mengembangkan wilayah penyimpan karbon, seperti hutan dan mangrove di pesisir. Hal ini telah tertera dalam Keputusan Presiden No 98 Tahun 2021, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah karbon di atmosfer sehingga mampu menurunkan dampak perubahan iklim pada masa mendatang. Namun, data perubahan lahan pesisir Indonesia sepanjang dua puluh tahun terakhir (1999-2020) memperlihatkan bahwa hal ini membutuhkan perencanaan berbasis pembangunan ramah lingkungan dengan langkah operasional yang memiliki komitmen tinggi.
Lahan basah pesisir (coastal wetland) dan hutan mangrove merupakan areal blue carbon atau karbon biru, sebagai istilah dari karbon yang tersimpan di wilayah pesisir. Wilayah ini memiliki efektivitas lebih tinggi dalam menyimpan karbon dibandingkan dengan berbagai tipe hutan lainnya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa areal pesisir dan hutan mangrove mampu untuk menyimpan karbon sebanyak empat kali lipat lebih tinggi serta dapat menyerap karbon dengan lebih cepat dibandingkan dengan hutan hujan tropis. Hal ini disebabkan mangrove tidak hanya menyimpan karbon di bagian tubuhnya saja, tapi juga di tanah tempat tumbuhnya. Akar yang dimiliki oleh mangrove mampu mengikat dan menstabilkan bahan karbon yang terdapat pada tempat tumbuhnya. Oleh karena itu, sebagai wilayah dengan habitat lahan mangrove yang sangat luas, Indonesia merupakan lokasi yang penting untuk mitigasi perubahan iklim global.
Perubahan Lahan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, perubahan wilayah pesisir dari coastal wetland dan hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya adalah konsekuensi dari kebutuhan lahan untuk perkembangan ekonomi. Pemantauan data mempergunakan citra satelit Landsat 8 yang dilakukan oleh Eastman, et al. (2020) telah memperlihatkan bahwa selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi penurunan hutan mangrove seluas 1.500 - 1.600 km2 dan coastal wetland sebesar 12.000 - 13.000 km2 di Indonesia.
Tiga pulau dengan lahan coastal wetland dan hutan mangrove terbesar di Indonesia, yaitu Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua memperlihatkan pola yang berbeda. Pulau Papua memperlihatkan konservasi yang baik. Sementara penurunan kawasan coastal wetland yang mencapai hampir 10.000 km2 terjadi di Pulau Sumatera. Selain itu, penurunan luas hutan mangrove juga terdeteksi di Pulau Kalimantan, yang mencapai hampir 1.400 km2.
Konservasi Lahan
Dinamika luas blue carbon berdampak pada daya serap dan daya simpan karbon di wilayah pesisir dan juga dapat berpengaruh terhadap pencapaian target NDC yang telah ditetapkan. Intervensi kebijakan dan teknologi ramah lingkungan diperlukan dalam memperlambat laju perubahan lahan pesisir dibandingkan perubahan yang telah terjadi sepanjang dua puluh tahun terakhir. Konservasi fungsi ekologi lahan blue carbon diperlukan agar dapat berkontribusi dengan optimal dalam target pengembangan lahan penyimpan karbon.
Penelaahan data dari berbagai di wilayah Asia yang dilakukan oleh Shrestha, et al. (2019) telah memperlihatkan penurunan luas hutan mangrove dan coastal wetland banyak dipengaruhi oleh kebutuhan lahan berbagai kebutuhan ekonomi, misalnya untuk perkotaan dan juga keperluan pengembangan lahan akuakultur. Oleh karena itu, kebijakan berbasis ekologi diperlukan di sektor-sektor tersebut.
Kebijakan terkait perkotaan misalnya pengembangan alih fungsi lahan untuk Ibu Kota Negara. Perhitungan model ekologi secara seksama perlu dilakukan dan diterapkan dalam pengembangan kota hijau untuk mitigasi nilai karbon yang dilepaskan, serta juga diimbangi dengan rehabilitasi wilayah pesisir sehingga memiliki nilai kompensasi untuk tetap memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon.
Kebijakan penting lainnya terkait dengan target pengembangan ekspor di sektor perikanan. Data penelitian yang dilakukan oleh Aslan, et al. (2021) juga telah menunjukkan bahwa penurunan luas hutan mangrove berbanding lurus dengan peningkatan permintaan dunia untuk ikan dan udang. Penerapan teknologi adaptif diperlukan dengan basis akuakultur yang ramah lingkungan.
Revitalisasi tambak dan pengembangan intensifikasi akuakultur yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu segera diimplementasikan untuk mitigasi perluasan lahan akuakultur di wilayah pesisir, dalam target ekonominya untuk mencapai peningkatan ekspor hingga 2 juta ton ekspor udang pada 2024.
Pelaksanaan kebijakan ini tidak mudah, untuk menyeimbangkan nilai ekologi lingkungan dengan adanya target-target dalam peningkatan ekonomi yang juga signifikan. Konservasi untuk mempertahankan dan mengembangkan wilayah penyimpan karbon di tengah berbagai rencana untuk pengembangan ekonomi tersebut membutuhkan kebijakan dengan perencanaan berbasis ilmiah dan juga komitmen tinggi dalam implementasinya.
Hedi Indra Januar Peneliti Madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)