Keberlanjutan Bukan Beban, Tapi Investasi Masa Depan

Suripto - detikNews
Kamis, 24 Jul 2025 08:55 WIB
Ilustrasi / Foto: Shutterstock
Jakarta -

Krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial yang kian akut telah membawa satu pesan tegas: keberlanjutan tidak lagi bisa dianggap sebagai isu teknis atau pilihan moral semata. Ia adalah keputusan politik.

Di balik jargon "pembangunan berkelanjutan" yang kerap digaungkan dalam forum-forum resmi, masih banyak kebijakan yang kontradiktif dengan semangat keberlanjutan. Kita menyaksikan ekspansi energi fosil terus terjadi, deforestasi berjalan paralel dengan target pengurangan emisi, dan keputusan-keputusan pembangunan kerap lebih didorong oleh kepentingan jangka pendek ketimbang visi jangka panjang.

Padahal, keberlanjutan sejatinya menyangkut arah strategis bangsa. Ia menyentuh ranah pengambilan keputusan tentang bagaimana kita mengelola sumber daya, membangun ekonomi, dan menciptakan keadilan antar generasi.
Indonesia telah berkomitmen dalam Paris Agreement dan menyusun target penurunan emisi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Bahkan, pemerintah telah meluncurkan agenda Net Zero Emission 2060 serta berkomitmen melalui skema pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, realisasinya jauh dari cukup.

Laporan Climate Transparency (2023) mencatat bahwa meskipun Indonesia mulai menurunkan intensitas emisinya, ketergantungan pada batubara masih sangat tinggi. Sekitar 60% listrik kita masih dihasilkan dari pembangkit batu bara. Proyek-proyek energi terbarukan berjalan lambat, dan insentif terhadap industri hijau belum kompetitif.

Mengapa? Karena keberlanjutan belum menjadi keputusan politik yang serius. Ia masih berada di pinggiran kebijakan, tidak menjadi arus utama (mainstreaming) dalam sistem perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Konsep ESG (Environmental, Social, and Governance) yang berkembang dalam dunia bisnis global juga mulai diadopsi oleh korporasi Indonesia. Namun implementasinya masih cenderung simbolik. Banyak perusahaan memproduksi laporan keberlanjutan tahunan, tapi belum benar-benar menjadikan keberlanjutan sebagai inti dari strategi bisnisnya.

Sementara itu, transisi energi masih menghadapi hambatan struktural. PLN, sebagai aktor utama dalam tata kelola energi nasional, memiliki skema jangka panjang yang masih menyisakan pembangkit fosil dalam kapasitas besar. Di sisi lain, investasi energi terbarukan terhambat oleh perizinan, ketidakpastian kebijakan, dan rendahnya insentif.
Semua ini kembali bermuara pada satu titik: keberlanjutan belum mendapatkan dukungan politik yang kuat untuk menjadi kebijakan negara yang tegas dan konsisten.

Lebih dari sekadar isu lingkungan, keberlanjutan adalah persoalan keadilan sosial dan antargenerasi. Kita tidak hanya sedang membicarakan bagaimana melindungi hutan atau mengurangi emisi karbon. Kita sedang membahas bagaimana anak cucu kita nanti bisa hidup di bumi yang layak.

Bila saat ini kita membiarkan eksploitasi berlebih terhadap sumber daya alam, membiarkan ketimpangan menganga, dan gagal mengarahkan investasi ke sektor hijau, maka kita sedang menggadaikan masa depan generasi berikutnya demi kenyamanan sesaat.

Keputusan untuk mengedepankan keberlanjutan berarti berani mengubah arah kebijakan: dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi regenerative, dari pembangunan eksploitatif ke pembangunan inklusif, dari pertumbuhan semu ke kemajuan yang adil dan lestari.

Menjelang kontestasi politik nasional, kita melihat banyak janji soal ekonomi, lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur. Sayangnya, keberlanjutan masih sering absen dalam wacana politik arus utama. Padahal, tanpa keberlanjutan, semua janji itu akan rapuh.

Kita membutuhkan para pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah yang menjadikan keberlanjutan sebagai bagian tak terpisahkan dari visi kepemimpinan mereka. Keberlanjutan bukan slogan, tapi strategi. Ia bukan beban biaya, melainkan investasi masa depan.

Dengan memperkuat regulasi lingkungan, mengarahkan insentif fiskal pada sektor hijau, mempercepat transisi energi, serta memperluas pendidikan dan kesadaran publik, Indonesia bukan hanya bisa bertahan dari krisis global, tapi juga tampil sebagai pemimpin kawasan dalam agenda keberlanjutan.

Keberlanjutan tidak akan terjadi secara alami. Ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai dari kemauan politik. Bukan hanya dari pemerintah, tapi juga dari parlemen, pelaku usaha, dan kita sebagai warga negara. Karena pada akhirnya, keberlanjutan bukan pilihan. Ia adalah keputusan politik yang menentukan apakah kita ingin mewariskan dunia yang lebih baik, atau hanya mewariskan masalah yang lebih besar.

Dr. Suripto, M.Ak. Peneliti Bidang Keberlanjutan, Universitas Pamulang

Lihat juga video: Hilirisasi di IMIP: Wujud Transformasi Ekonomi Keberlanjutan




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork