Sore itu, 9 Februari 2024, lima hari sebelum hari pencoblosan, saya diajak oleh koordinator tim sukses kabupaten untuk berkeliling mengunjungi rumah-rumah koordinator tim kecamatan di Labuhanbatu Selatan. Setibanya di salah satu rumah, saya disambut pemandangan yang muram. Di halaman, beberapa orang berkumpul dengan wajah cemas dan letih.
Saya mengikuti koordinator masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam lebih tegang. Seorang pria bertubuh besar, bernama Pak Purba, tampak sedang marah besar. Ia membentak beberapa orang di depannya.
"Kok bisa saya cuma dapat satu amplop? Keluarga saya ada tiga yang punya hak pilih. Lalu istri dan anak saya ini dapat apa? Kalau dari awal dibilang cuma satu, suara mereka kan bisa saya carikan amplop dari kandidat lain!"
Saya memilih keluar ruangan, membiarkan koordinator kabupaten menyelesaikan ketegangan itu. Saya tak hendak ikut campur dalam urusan seperti itu. Di luar, saya mengobrol dengan beberapa orang lain yang rupanya menyimpan keluhan serupa yang dialami Pak Purba.
Politik Uang di Barito
Kejadian seperti ini bukan hal baru. Di akar rumput, praktik ini terus berulang, dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Persis seperti yang terjadi di Barito Utara dalam Pilkada 2024, yang berujung pada putusan Mahkamah Konsitusi dengan mendiskualifikasi semua pasangan calon. MK melakukan diskualifikasi karena para paslon dinilai terbukti melakukan politik uang dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang di dua tempat pemungutan suara.
Tentu ini sebuah ironi demokrasi. Bagaimana mungkin, dalam sistem yang katanya demokratis, tak ada satu pun kandidat yang layak dipilih?
Ini bukan semata kegagalan individu dari masing-masing kandidat. Tapi sebuah pertunjukan yang memperlihatkan bagaimana sistem politik kita telah lama lapuk. Kita menyaksikan tiang-tiang penyangga demokrasi tak mampu lagi menopang sistem itu.
Lalu pertanyaan yang terus muncul, mengapa politik uang bisa terus berlangsung dan menjadi pola umum yang diwajarkan? Saya ingin menegaskan, bahwa salah satu jawabannya terletak pada lemahnya fungsi partai politik.
Kontrol Diskresi Partai Rendah
Partai semestinya menjadi tiang penopang utama demokrasi. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan, partai punya fungsi pendidikan politik bagi masyarakat. Namun kenyataannya, fungsi ini lebih sering menjadi sekadar slogan yang hanya muncul saat musim kampanye.
Partai hadir menjelang pemilu saja, setelah itu, lalu menghilang. Di luar itu, mereka nyaris tak menampakkan warnanya. Ini membuat warga tidak punya keterikatan ideologis dan partisipasi warga pun menjadi rapuh. Maka ketika pemilu datang, relasi yang terbentuk hanya terjalin dengan cara-cara transaksional.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya kontrol partai terhadap kandidat yang mereka usung. Aspinall dan Berenschot (2019) menyebut bahwa partai di Indonesia memiliki kontrol diskresi yang rendah. Dalam banyak kasus, justru kandidat yang menjadi patron bagi pemilih bahkan bagi partai itu sendiri.
Saya meyakini, hal ini terjadi karena banyak kandidat bukanlah kader tulen. Mereka datang dari luar partai, membawa uang besar, membeli dukungan dan rekomendasi. Kursi pencalonan sering kali dimenangkan lewat transaksi, bukan proses kaderisasi. Akibatnya, partai kehilangan otoritas. Fungsi penyaring dan pengarah politik diambil alih oleh tim sukses pribadi sang calon.
Dalam sistem semacam ini, partai hanya tinggal nama dan warna. Di sini, kandidat merasa tak punya tanggung jawab moral terhadap ideologi atau nilai partai. Mereka bebas menggunakan segala cara untuk menang, termasuk politik uang. Dan partai pun tak bisa berbuat apa-apa.
Maka jangan heran jika kehadiran partai dalam Pemilu maupun Pilkada hanya sebatas formalitas. Mereka gagal menjalankan peran sebagai penjaga kualitas demokrasi.
Politik Uang Dinormalisasi
Politik uang telah menjadi kebiasaan. Bahkan dalam banyak kasus, transaksi itu dianggap wajar. Survei nasional Politika Research & Consulting (PRC) tahun 2020 menunjukkan bahwa 29 persen responden menganggap politik uang sebagai hal yang wajar.
Angka tersebut kian mencemaskan jika melihat tren di tingkat daerah. Survei PRC di lima provinsi pada tahun 2023 mencatat, mayoritas responden di Banten sebesar 64,8 persen yang menganggap politik uang dapat dimaklumi.
Di DKI Jakarta, ibu kota negara, masyarakat menganggap politik uang sebagai tindakan yang wajar mencapai 53,3 persen. Sementara di Lampung 39,2 persen, Riau 35,9 persen, dan Sumatra Utara sejumlah 42,3 persen masyarakat menganggap wajar. Data ini menunjukkan bahwa politik uang bukan lagi praktik tersembunyi. Ia telah menjadi bagian dari kesadaran publik.
Oleh karena itu, saat membicarakan kerusakan demokrasi, kita tidak bisa hanya menuding partai politik atau para kandidat.
Ada satu elemen yang kerap luput dari sorotan, siapa lagi kalau bukan masyarakat pemilih itu sendiri. Sebab politik uang tak akan hidup bila hanya ada yang memberi. Ia bertahan karena ada yang bersedia menerima.
Ketika warga dengan sadar dan sukarela mengambil uang, sembako, atau janji-janji pragmatis lainnya menjelang hari pencoblosan, sesungguhnya pada saat itu pula mereka sedang menjual hak politiknya sendiri.
Di momen itulah, suara yang mestinya sakral berubah menjadi komoditas murah. Mereka juga sedang menyerahkan masa depan daerah kepada logika transaksi jangka pendek. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang rasional untuk memilih pemimpin terbaik, dipersempit menjadi arena tawar-menawar.
Argumen seperti "daripada tidak dapat apa-apa" atau "semua calon sama saja" sering dijadikan pembenaran.
Padahal, logika ini hanya memperpanjang siklus korupsi dan melanggengkan kepemimpinan yang buruk. Satu karung beras hari ini bisa mengorbankan anggaran berpuluh miliar untuk pendidikan, kesehatan, atau jalan desa yang lebih baik.
Akar persoalannya terletak pada mentalitas permisif dan budaya pragmatis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat perlu disadarkan, bahwa menolak politik uang bukan hanya soal etika, melainkan usaha menyelamatkan masa depan bersama. Pertanyaannya, kapan kesadaran kolektif itu akan tumbuh?
Saatnya Memulai Kembali
Namun, kita tak boleh menyerah pada keputusasaan. Jalan perbaikan tetap terbuka, selama ada kemauan politik dan komitmen bersama. Langkah awal adalah mendorong partai politik kembali ke khitahnya, yakni sebagai institusi kaderisasi dan pendidikan politik. Ini bisa dimulai melalui forum-forum rutin di tingkat desa atau kecamatan yang melibatkan warga dalam diskusi kebijakan lokal. Rakyat pun berhak menagih partai agar menjalankan fungsi dasarnya.
Selanjutnya, masyarakat sipil-termasuk organisasi keagamaan, komunitas adat, dan lembaga pendidikan-perlu diperkuat sebagai agen literasi politik. Diskusi publik, pelatihan pemantauan pemilu, hingga edukasi berbasis kearifan lokal dapat menjadi ruang belajar bersama. Di kampung saya misalnya, pada saat Pilkades penolakan amplop dilakukan secara kolektif di pos ronda atau pengajian. Praktik semacam ini bisa ditumbuhkan sebagai budaya politik baru.
Terakhir, kita perlu membangun ketahanan moral bersama. Penolakan terhadap politik uang harus menjadi gerakan sosial, bukan sekadar sikap individu. Sanksi sosial terhadap praktik transaksional serta dorongan memilih berdasarkan kualitas kandidat perlu ditanamkan hingga ke komunitas terkecil.
Demokrasi tak bisa ditopang hanya dengan hukum dan institusi. Ia hidup lewat kesadaran warga. Kalau hari ini kita marah karena jalan rusak, atau pejabat korup, coba ingat-ingat, apakah lima tahun lalu atau kemarin kita memilih karena amplop?
Barito Utara sudah memberi pelajaran pahit. Tapi juga membuka peluang, bahwa demokrasi bisa dimulai ulang. Mulai dari ruang-ruang kecil, lebih tepatnya dari ruang tamu keluarga kita.
Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC).
(rdp/rdp)