Kolom

Menanti Politik Gagasan Para Capres

A Fahrur Rozi - detikNews
Kamis, 15 Jun 2023 13:08 WIB
A Fahrur Rozi (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Terminologi politik dewasa ini tersentralisasi secara vis-à-vis dalam dua kubu, yaitu politik gagasan dan politik kekuasaan. Terminologi ini merupakan pergeseran yang sebelumnya menciptakan demarkasi elektoral antara politik Islam dan politik nasionalis.

Terminologi politik gagasan perlu diakrabkan dalam persepsi publik. Basis elektoral publik tidak boleh didudukkan pada relasi kuasa politik tribalisme, politik aliran, atau politik teritorial. Politik seperti Jawa-non Jawa, Islam-non Islam, atau basis kesukuan sudah saatnya ditinggalkan.

Alasannya, saat ini kita dihadapkan pada dua fakta politik. Pertama, bentuk konsolidasi dan bangunan koalisi partai politik sudah berdasar pada kalkulasi matematik keuntungan dan ambang batas pencalonan. Tidak ada kalkulasi etik yang berbasis pada ideologi atau platform ide perjuangan. Asas dan basis elektoral masing-masing parpol sudah menguap dalam garis-garis yang samar.

Sebut saja Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KKP). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara ideologis seharusnya duduk secara vis-à-vis dengan Partai NasDem dan Partai Demokrat. Asas dan basis PKS adalah politik Islam dan dua parpol yang lain berbasis politik nasionalis.

Begitu pula yang tejadi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerindra dalam Koalisi KKIR, juga Koalisi KIB, dan terakhir merapatnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusung Ganjar Pranowo bersama PDI-P.

Fakta politik yang kedua, bahwa sebanyak 70% pemilih 2024 nanti merupakan generasi milenial dan Gen Z. Secara analisis psiko-politik, generasi ini merupakan pemilih rasional yang mendasarkan pilihan politiknya pada ide dan gagasan. Fakta ini mengindikasikan suatu kemajuan dari akumulasi bonus demografi menyongsong Indonesia 2045. Laporan Litbang Kompas sebanyak 86,7 persen ikut berpartisipasi aktif, 10,7 persen masih ragu, dan 2,6 persen menolak (dirilis 8 April 2022).

Pilihan rasional pemuda salah satu bentuk kesadaran politik publik. Keberadaannya harus dirawat dalam ruang-ruang demokratis, atau bahkan terlembagakan dalam sistem politik di Indonesia. Pilihan rasional menegasikan politik emosional dan transaksional yang mengamini ketidakdewasaan dan fanatisme dalam berpolitik.

Setidaknya terdapat dua faktor di mana kesadaran berpolitik ini terbentuk. Sebagai bentuk akumulasi publik yang mengendap dari kepongahan politik rezim saat ini. Politik seolah menjadi anasir dasar yang mampu mempengaruhi dimensi lain dari instrumen bernegara; penegakan hukum, struktur koalisi, hingga komposisi birokrasi dalam tatanan kelembagaan. Hal itu berlangsung lama dalam tarikan yang multidimensional, baik ke samping antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau secara horizontal antara pusat dan daerah.

Kedua, karena faktor kematangan demografi. Sejak awal generasi milenial dan Gen Z sudah dipersepsikan dalam bentuk peluang dan kemajuan. Artinya, persepsi suatu bangsa mampu membentuk semacam kematangan suatu generasi. Mereka mewariskan suatu masa yang sudah sedari dulu dilekatkan dalam ingatan sebagai puncak kemajuan dari perjalanan berbangsa. Mau tidak mau, kematangan di sana secara intrinsik menjadi titah sejarah.

Belum Menjadi Karakter

Politik gagasan boleh saja mengendap sebagai kesadaran publik, tapi dia belum menjadi karakter permainan politik elite. Mereka tetap saja terjebak dalam pusaran politik kekuasaan. Komposisi politik yang dimainkan tentu tidak jauh dari gimik sosial yang semu dan branding isu yang saling menjatuhkan.

Politik bukanlah arti dalam pengertian Machiavelli (1469-1527) yang cenderung praktis dan pragmatis. Politik itu tidak sebatas pada "trilogi laku kuasa" (memperoleh, mempertahankan, dan mengekspansi). Kalau sejak awal praktek politik elit terus demikian dan berkelanjutan, agenda reformasi dan cita-cita konstitusi tentu sulit untuk dicapai. Artinya, politik bangsa hanya surplus ide dan defisit sebagai laku.

Kita belum melihat para calon yang telah dideklarasikan oleh masing-masing parpol meresonansikan gagasan pembangunan dan perubahan sebagai agenda pencalonannya. Misalnya, bagaimana isu tentang tatanan birokratis, penanganan separatisme, pembangunan hukum progresif berkeadilan, politik berkeadaban, ketimpangan dan kesejahteraan, hingga premanisme politik dalam tubuh rezim.

Tidak heran jika Ganjar Pranowo dalam unggahan video di detikcom (27/5) mengakui kemunculan namanya dalam bursa pencapresan di berbagai survei masih minim pilihan dari Gen Z (menelanjangi survei Kompas). ini adalah fakta lapangan karena sedari awal Ganjar hanya di-branding dengan elektabilitas perangkat kekuasaan, dan bukan dengan kapasitas gagasan. Alhasil, meski dalam bursa capres namanya selalu muncul paling atas, pilihan Gen Z belum jatuh padanya.

Tantangan selanjutnya, kematangan berpolitik Gen Z tidak dibarengi dengan konsolidasi demokrasi yang baik. Mereka belum melembagakan politik gagasan secara gerakan. Sejauh ini, mereka hanya menunggu. Tidak ada konsolidasi gagasan yang diciptakan dalam ruang-ruang akademis dan demokratis.

Mendekati Pemilu, seharusnya politik gagasan sudah menunjukkan gerakan khasnya dalam mengonsolidasikan ide dan gagasan pembangun prospektif ke depan. Misalnya dengan menguji visi dan misi pencapresan setiap calon dalam ruang-ruang terbuka, di kampus maupun dalam ruang demokratis lainnya.

Perangkat politik sudah seharusnya diarahkan untuk membentuk ekosistem politik yang berkemajuan dan menjunjung tinggi nilai keadaban. Antusiasme para pemuda harus dipastikan bisa tertuang membentuk ruang-ruang bagi terkonsolidasinya gagasan. Peran aktif pemuda inilah yang diharapkan mampu membentuk ekosistem politik bangsa ini dalam nuansa yang tidak sekadar menyangkut politik kekuasaan, melainkan politik gagasan yang berkeadaban. Dari sinilah suatu bangsa dapat dibangun.

A Fahrur Rozi pengamat politik dan hukum di Distrik HTN Institute Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork