Kolom

Menata Optimisme dalam Bayang-Bayang Krisis

Titania Audrey Al Fikriyyah - detikNews
Senin, 03 Apr 2023 16:00 WIB
Foto: Tayfun Coskun/Anadolu Agency/Getty Images
Jakarta - Bangkrutnya salah satu bank terbesar di Amerika Serikat, Sillicon Valley Bank (SVB) mungkin sedikit mengingatkan kita pada runtuhnya Lehmann Brothers belasan tahun lalu yang memicu krisis finansial global 2008. Lehmann Brothers adalah perusahaan penyalur KPR terbesar di Amerika Serikat saat itu. Penjualan properti melalui perusahaan tersebut meningkat pesat akibat kebijakan subprime mortgage.

Namun karena sedari awal subprime mortgage diberikan kepada nasabah yang kurang potensial, resiko gagal bayar pun meningkat. Perusahaan properti itu pun pada akhirnya dinyatakan bangkrut dengan nilai aset sebesar 639 miliar dolar dan utang 619 miliar dolar. Para investor mulai menarik dananya karena ketidakpercayaan terhadap pasar modal Amerika Serikat. Dari sinilah krisis finansial global 2008 bermula.

Awal mulai dari kebangkrutan SVB sebagai penyokong terbesar perusahaan teknologi di Amerika Serikat bermula dari pelonggaran moneter besar-besaran terjadi selama pandemi. Dengan rendahnya suku bunga acuan saat itu, masyarakat menikmati "easy money", tak terkecuali perusahaan teknologi. Apalagi pandemi membuat sektor digital menjadi sangat diperlukan. Lockdown membuat masyarakat menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah dan bergantung pada layanan digital.

Transformasi digital di era pandemi mengakibatkan lonjakan investasi pada perusahaan berbasis teknologi. Dengan adanya suntikan dana segar dari investor, banyak perusahaan teknologi yang mulai meningkatkan skala bisnisnya salah satunya adalah dengan merekrut tenaga kerja besar-besaran.

Setelah pandemi mulai mereda, inflasi mulai meningkat akibat kebijakan pelonggaran moneter tersebut. Inflasi di Amerika Serikat mencapai angka 9,1 persen pada Juni 2022, tertinggi selama 41 tahun terakhir. The Fed mulai bergerak menaikkan suku bunga acuan untuk meredam laju inflasi. Kebijakan tersebut juga diikuti oleh negara lain untuk mengimbangi penguatan dolar terhadap mata uang mereka.

Selain itu, adanya perang Rusia-Ukraina menambah ketidakpastian situasi ekonomi. Investor mulai bersikap hati-hati dan lebih memilih menyimpan uangnya di bank. Investasi ke perusahaan teknologi yang menggunakan sistem "bakar uang" untuk mendapatkan keuntungan di masa depan tidak lagi menarik dengan situasi yang ada. Perusahaan teknologi pun mulai kehilangan suntikan dana. Dari sinilah banyak perusahaan tersebut memberlakukan PHK, baik perusahaan berskala nasional maupun internasional.

SVB sebagai bank yang terkenal mendanai perusahaan teknologi pun terkena dampaknya. Penarikan dana besar-besaran (bank run) oleh nasabah SVB terjadi beberapa waktu lalu. Bank run atau penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah mengakibatkan bank kehabisan uang tunai. Akibatnya bank harus menjual kepemilikan obligasi mereka untuk mendapatkan dana.

Namun penjualan obligasi tersebut membuat SVB rugi senilai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun karena kenaikan suku bunga menyebabkan harga obligasi jatuh. SVB pun dinyatakan kolaps setelah mengalami krisis selama 48 jam karena kekurangan modal pada Jumat, 10 Maret 2023.

Setelah kolapsnya SVB, dua bank lainnya pun beriringan kolaps akibat bank run, yakni Signature Bank dan Silvergate Capital. Bangkrutnya ketiga bank tersebut mengakibatkan situasi ketidakpastian ekonomi global meningkat. Saat ini dengan runtuhnya tiga bank Amerika Serikat tersebut, pemerintah AS memastikan bahwa dana para deposan tersebut dilindungi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan AS.

Tetap Optimis

Beberapa waktu lalu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah dari angka 5,2 persen pada 2022 menjadi 4,8 persen pada 2023. Proyeksi ini berdasarkan sejumlah faktor seperti permintaan ekspor yang melemah hingga pengetatan moneter global yang memicu keluarnya arus modal.

Apabila The Fed terus menaikkan suku bunganya hingga akhir tahun, maka kenaikan suku bunga dalam negeri mungkin juga akan terus mengikuti untuk mencegah penurunan nilai rupiah yang terlalu dalam. Adanya kenaikan suku bunga acuan dapat menurunkan produktivitas usaha dalam negeri. Ditambah dengan kemungkinan adanya penurunan ekspor, perekonomian dalam negeri mungkin akan sedikit melambat.

Walaupun begitu, sejauh ini kinerja perekonomian Indonesia sudah cukup baik. Dari data Bank Indonesia, tingkat inflasi terjaga di angka 5,47 persen per Februari 2023. Adanya berbagai event internasional seperti MotoGP, World Superbike, dan lainnya juga dapat meningkatkan permintaan domestik dan konsumsi masyarakat sehingga mendukung perputaran roda ekonomi nasional.

Selain itu, jauh sebelum krisis perbankan Amerika Serikat saat ini, Indonesia telah mengalami krisis moneter pada 1998. Bank run di Indonesia saat itu mengakibatkan dilikuidasinya 16 bank. Adanya krisis moneter 1998 menjadi momentum titik balik reformasi perbankan di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah krisis yang sama terjadi salah satunya adalah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpan yang menjadi dasar hukum terbentuknya Lembaga Penjamin Simpan (LPS). Berdirinya LPS dapat memberikan rasa aman bagi para nasabah sehingga menjaga stabilitas perbankan.

Sebagai langkah untuk pencegahan dan penanganan krisis, melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis, Pemerintah juga menetapkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS sebagai forum untuk koordinasi dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Koordinasi keempat lembaga negara ini terbukti sukses meredam kontraksi ekonomi selama pandemi dengan rangkaian kebijakan yang dikeluarkan.

Langkah-langkah tersebut membawa dampak yang sehat bagi sistem perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir. Pengalaman dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi sudah matang sejak terjadinya krisis moneter 1998. Kita berharap di tengah ketidakpastian ekonomi global, perekonomian Indonesia dapat tumbuh pada kisaran 4,5 persen hingga 5,3 persen sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia.

Titania Audrey Al Fikriyyah anggota Komunitas #UangKita Kemenkeu




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork