Sebuah though experiment sederhana menjadi menarik tatkala kepada kita disuguhkan sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa kematian kita bisa diprediksi dengan sebuah uji kebugaran (fitness test). Sehingga kemungkinan kita akan menjadi cemas atau takut, dan boleh jadi selanjutnya kita tidak akan mau melakukannya. Meskipun sejatinya ajal dan kematian tiap-tiap manusia sudah ditentukan waktunya oleh sang khalik, tetap saja kecemasan akan menerobos masuk ke dalam hati kita, jika ternyata ditemukan sebuah prediktor ilmiah mampu memperkirakan kapan kira-kira kita akan meninggal.
Investigasi mendalam pernah dilakukan seorang freelancer (science) journalist dari The Washington Post, Erin Strout (2019), yang menulis sebuah artikel bertajuk Tes Kebugaran yang Memicu Kecemasan ini Dimaksudkan untuk Memberi Tahu Anda Berapa Lama Lagi Anda Akan Hidup. Nampaknya tantangan tes kebugaran tersebut cukup sederhana: duduk di lantai dan bangkit kembali tanpa bantuan tangan atau lutut. Namun cobalah, bisa jadi Anda akan menemukannya tidak semudah kedengarannya. Tantangan tersebut dikenal dengan Sitting-Rising Test (SRT).
Kebaruan
Para ilmuwan selalu berusaha menemukan kebaruan (novelty) dalam riset-riset ilmiah mereka. Kebaruan tersebut merupakan sebuah kewajiban, sebab ia akan menjadi semacam proses pembedaan (differentiation) dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga sebuah riset akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu periset yang melakukannya adalah Claudio Gil Araujo, peneliti asal Brasil yang juga seorang dokter spesialis kedokteran olahraga. Ia menyebutkan bahwa kebugaran muskuloskeletal, yaitu sistem yang meliputi otot, jaringan ikat, saraf, serta tulang serta sendi, sesuai hasil tes dalam SRT, merupakan prediktor kematian yang signifikan pada usia 51-80 tahun. Penelitian cohort-nya yang sangat fenomenal bertitel Ability to Sit and Rise from The Floor As A Predictor of All-Cause Mortality telah diterbitkan dalam European Journal of Cardiovascular Prevention (2012).
Araujo menemukan bahwa selain kebugaran aerobik, ternyata tingkat fleksibilitas tubuh yang tinggi, kekuatan otot, rasio power-to-body weight dan koordinasi tidak hanya baik untuk melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi juga memiliki pengaruh yang positif dan signifikan pada harapan hidup. SRT memang dirancang untuk memprediksi kematian pada orang usia paruh baya dan lebih tua.
Peneliti menguji partisipan sebanyak 2.002 orang dewasa berusia 51 hingga 80 tahun, dan kemudian mengikuti mereka sampai seorang peserta meninggal atau sampai penelitian selesai (1997-2011), dengan median 6,3 tahun. Di akhir riset, ditemukan 159 orang meninggal, hanya 2 di antaranya yang mendapat skor sempurna 10 poin. Mereka yang memiliki skor terendah, 0-3 poin, berkorelasi dan memiliki risiko kematian 5-6 kali lebih tinggi daripada mereka yang mempunyai skor 8-10 poin dalam 6,3 tahun ke depan.
Cara melakukan SRT adalah dengan menurunkan diri ke lantai (dari posisi berdiri ke duduk), gaya silang, tanpa bantuan tangan, lutut, lengan, atau sisi kaki Anda. Bila mampu berdiri kembali (dari posisi duduk), sekali lagi tanpa bantuan bagian tubuh di atas, maka diperoleh skor sempurna 10 poin (5 poin untuk duduk, 5 poin untuk berdiri). Anda kehilangan satu poin setiap kali menggunakan bantuan bagian tubuh lain, dan kehilangan 0,5 poin jika terjadi ketidakseimbangan tubuh.
Harapan Hidup
Selalu ada pro dan kontra dari sebuah teori maupun temuan baru dalam penelitian. Dalam hal ini, Greg Hartley, presiden Akademi Terapi Fisik Geriatri dan asisten profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Miami Miller termasuk peneliti yang tidak sepenuhnya setuju dengan SRT. Menurutnya, SRT hanya berfungsi sebagai salah satu metode untuk mengevaluasi hilangnya massa otot seseorang dalam proses penuaan, yang lebih dikenal sebagai sarcopenia. Penurunan itu menyebabkan masalah mobilitas lainnya dan secara umum akan menurunkan kualitas hidup seseorang. Dia memperingatkan bahwa korelasi bukanlah berarti sebab-akibat.
Oleh karena itu, apakah jika kita gagal melalui tantangan SRT kemudian kita akan segera meninggal? Hasil statistik inferensial melalui uji hipotesis dari data penelitian Claudio Gil Araujo di atas memang mengatakan demikian. Namun, sesuai ciri ilmu pengetahuan yang bersifat dynamic, selalu berubah sepanjang waktu, maka kebenaran hari ini belum tentu terus menjadi kebenaran di masa yang akan datang. Selalu diperlukan pengujian-pengujian lanjutan untuk menemukan kebenaran yang lebih baru lagi.
Selain itu, secara empiris hidup tidaklah melulu tentang persoalan angka-angka statistik. Sebuah kejadian dalam kehidupan selalu memiliki penyebab yang multi-variabel, saling berkelindan, serta tidak pernah berdiri sendiri. Sehingga kegagalan SRT tidak perlu menimbulkan kecemasan ataupun ketakutan yang berlebihan. Namun demikian, setidaknya hasil SRT bisa digunakan sebagai alarm tentang kondisi kebugaran tubuh kita. Sekalipun cakupan usia partisipan di dalam riset 51-80 tahun, skor rendah dalam SRT sesungguhnya tetap menggambarkan tingkat fleksibilitas dan kekuatan otot yang rendah pada usia yang lebih muda.
Pesan moral dari artikel ini adalah aktif bergerak, termasuk di dalamnya olahraga angkat beban, menjadi kunci menjaga kekuatan dan jumlah massa otot. Dengan otot yang kuat, kita akan menjadi lebih fleksibel serta mudah untuk bergerak, tulang juga menjadi kuat, dan akhirnya mudah mendapatkan kebugaran. Kalori banyak terbakar dan indeks massa tubuh menjadi lebih ideal dan stabil serta kita akan lebih mudah terhindar dari berbagai penyakit tidak menular (PTM). Mulai lakukan sejak muda, tidak perlu menunggu usia tua. Tidak ada kata terlalu awal ataupun kata sudah terlambat. Lakukan mulai sekarang.
Hukum sebab akibat mengatakan jika kondisi fisik badan kita bagus, maka kita akan mampu sehat (dan hidup) lebih lama. Ikhtiar menjadi sehat adalah kewajiban, selebihnya serahkan pada sang pemilik waktu. Orang sakit lazimnya hanya punya satu harapan: sembuh. Orang sehat selalu lebih mandiri dan punya lebih banyak harapan dalam hidup. Life is movement, keep moving. Hidup adalah lenggang-lenggok, teruslah bergerak melenggang dan melenggok agar tetap bugar.
Sunardi Siswodiharjo praktisi kebugaran, alumnus APKI, dan esais; tinggal di Kota Malang
Simak juga 'Bedanya Cemas di Quarter Life Crisis dan Anxiety Disorder':
(mmu/mmu)