Sejak tiba di Tunisia, saya mulai terbiasa dengan berbagai praktek keislaman ala Mazhab Maliki. Selama ini hanya membaca dan mengkaji pemahaman ala Mazhab Maliki dari berbagai literatur, khususnya mognum opus Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Saya mulai bisa melihat dari dekat, bagaimana gerakan salat hingga Salat Jumat, yang dibagi dalam dua waktu.
Saat Salat Terawih dan Salat Idul Fitri di Masjid Zaytunah juga banyak memberikan gambaran perihal mazhab Maliki. Meskipun secara umum lebih banyak persamaannya dengan mazhab-mazhab yang lain, tetapi selalu ada perbedaan dan keragaman yang harus dimaklumi dan diapresiasi. Itulah potret fikih dalam Islam. Beragam, tidak tunggal.
Di dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah ala NU, dalam khazanah fikih, kami selalu merujuk pada empat Imam Mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sebab itu, saat berada di tengah masyarakat yang sebagian besar bermazhab Maliki, hal tersebut bukan hal yang asing dan aneh bagi saya. Perbedaan mazhab adalah rahmat dan berkah, bukan laknat dan musibah.
Sejak kuliah di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir hingga sekarang, saya juga sudah terbiasa memahami pandangan keagamaan dari dua mazhab Syiah, yaitu Ja'fari dan Zaydi. Bahkan, saat ini di Mesir mulai muncul kecenderungan untuk menghidupkan kembali pandangan keislaman ala Imam Layts, yaitu guru Imam Syafii. Saat berkunjung ke Kairo minggu lalu, saya berziarah ke makam Imam Layts, yang lokasinya berdekatan dengan makam Imam Syafii, yang menunjukkan bahwa Imam Syafii belajar dari Imam Layts. Imam Syafii pun sangat menghormati dan belajar pada Imam Malik. Imam Syafii juga belajar pada Sayyidah Nafisah, keturunan Imam Zayd, pendiri Mazhab Syiah Zaydiah.
Jejak Mazhab Maliki di Tunisia tidak bisa dilepaskan dari sosok Imam Sahnun. Jika tidak ada Imam Sahnun, barangkali Mazhab Maliki tidak akan pernah membumi di seantero Tunisia. Nama aslinya, Abdussalam bin Said bin Habib al-Tanukhi. Konon, panggilan akrab, "sahnun", yang artinya burung ayam-ayaman, karena kecerdasannya di atas rata-rata ulama pada zamannya.
Sanad keilmuannya tersambung pada Imam Malik melalui Ali bin Ziyad, yang belajar langsung pada Imam Malik bin Anas, penulis kitab hadis dan fikih pertama, al-Muwaththa'. Selain itu, ia juga berpetualang ke Mesir, belajar langsung dari murid-murid Imam Malik, di antaranya: Abdurrahan bin Qasim al-'Itqi dan Ashhab bin 'Abdul Aziz. Lalu, ia juga berkelana ke Madinah untuk memperdalam fikih Mazhab Maliki, hingga akhirnya kembali ke Kairouan, hingga wafat di kota bersejarah ini.
Husein Mu'nis dalam al-Imam Sahnun, karya muridnya Muhammad Zinhum Muhammad 'Izb, bahwa Imam Sahnun merupakan salah satu ulama terkemuka dalam khazanah fikih Mazhab Maliki, karena ia menggabungkan antara kedalaman ilmu dan keteguhan sikap. Sesuatu yang jarang sekali dimiliki oleh seorang ulama fikih. Ia mengikuti jejak Imam Malik, guru sejatinya, untuk tidak hanyut dalam godaan, kungkungan dan kekangan kekuasaan. Mempertahankan keagungan ilmu adalah keutamaan yang harus diprioritaskan.
Saat Imam Malik ditanya tentang berbagai hal, ia tidak menjawab semua pertanyaan. Ia hanya menjawab beberapa saja, sesuai kemampuan dan pengetahuannya. Ia tidak ingin berpretensi menguasai semua hal, dan tidak pula ingin memenuhi seluruh keinginan penguasa. Ia jujur pada garis keilmuan, dan tidak merasa yang paling benar, sebagaimana akhlak para ulama pada umumnya.
Imam Sahnun pun demikian, saat usianya 74 tahun, ia diangkat sebagai hakim untuk Afrika Utara oleh Muhammad I Abul Abbas dari Dinasti Aghlabid. Ia awalnya menolak untuk menduduki jabatan tersebut, hingga memberikan syarat ketat agar keputusannya tidak diintervensi oleh penguasa. Sebagaimana Imam Malik, ia memilih untuk menegakkan reputasi ilmu di atas jabatan dan kekuasaan.
Maka dari itu, Muhammad Zinhum Muhammad 'Izb dalam al-Imam Sahnun, menyebut sosok Imam Sahnun sebagai lentera bagi peradaban Islam di kawasan Arab bagian Barat, dan pengaruhnya yang sangat di dunia Islam pada umumnya. Salah satu karyanya yang berpengaruh luas, yaitu al-Mudawwanah al-Kubra dan beberapa syarah magnum opus, al-Muwaththa', karya Imam Malik.
Tunisia betul-betul beruntung mempunyai sosok Imam Sahnun, karena mampu membumikan Mazhab Maliki, sehingga corak keberagamaan bernuansa toleran, ramah, dan humanis. Salah satu kaidah yang populer yang sangat terkenal dalam fikih Imam Malik adalah al-'adah muhakkamah. Yaitu, tradisi dan adat-istiadat dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sebab itu, tradisi dan peradaban Tunisia masih lestari dan menjadi kekuatan Tunisia dalam membangun peradaban masa kini dan masa depan.
Cinta Tanah Air warga Tunisia sangat luar biasa, berkat kemampuan mereka menjadi tradisi dan peradabannya. Dalam konteks tersebut, Islam dan nasionalisme saling memperkokoh, bukan justru dipertentangkan. Walhasil, Tunisia menjadi salah satu anomali dalam konteks nasionalisme, rasionalitas, dan modernitas. Meskipun mereka mempunyai pandangan yang modern, tetapi pijakan mereka pada tradisi, adat, dan peradaban masa lampau sangat kuat. Hal semua itu tidak bisa dipisahkan dari jejak fikih Imam Sahnun, yang berhasil membumikan Mazhab Maliki di seantero Tunisia, hingga sekarang ini. Ila hadrati Imam Sahnun, lahul Fatihan....
Zuhairi Misrawi Dubes RI untuk Tunisia
(mmu/mmu)