Suksesi politik atau pergantian kepemimpinan, khususnya di tingkat nasional, masih menjadi momok bagi para elite politik. Paranoia akan tibanya waktu bagi suksesi politik kerap menjangkiti para elite. Mereka lintang pukang merancang narasi untuk menjustifikasi bahwa suksesi politik adalah hantu yang harus ditakuti bahkan mesti dieliminasi. Argumen yang dikemukakan dari narasi anti-suksesi tersebut tidak jauh dari diktum bahwa suksesi politik akan menyebabkan kekacauan dan perpecahan bangsa.
Era Demokrasi Terpimpin menilai suksesi politik akan mengacaukan jalannya revolusi. Akibatnya, Presiden Sukarno selaku Pemimpin Besar Revolusi harus ditabalkan oleh MPRS (yang anggotanya ditunjuk sendiri oleh Presiden) sebagai Presiden Seumur Hidup. Pada era Orde Baru suksesi dianggap mengancam stabilitas nasional yang menghambat pembangunan. Dampaknya, ketika krisis multidimensi menghantam republik, pada 1998 para elite Orde Baru di legislatif (yang dua pertiga anggotanya dipilih eksekutif) bersimpuh memohon perkenan Soeharto agar bersedia kembali dicalonkan untuk periode ketujuh.
Kini pada era Reformasi, suksesi politik masih saja dianggap biang perpecahan bangsa. Ada yang menilai tajamnya polarisasi di masyarakat pasca-Pemilu 2019, yang disebabkan oleh elite sendiri, sebagai alasan menunda suksesi. Mereka bahkan membuat narasi baru bahwa pandemi Covid-19, pemindahan ibu kota, atau bahkan perang di Ukraina membuat Pemilu 2024 layak ditunda. Intinya, suksesi politik itu mengerikan.
Lantas, mengapa hantu suksesi selalu menggelayuti pikiran elite yang berada di jantung kekuasaan dan mengapa rakyat mesti dipaksa untuk ikut merasa takut? Bukankah demokrasi diintrodusir oleh gerakan Reformasi 1998 sebagai dekonstruksi total atas kesalahkaprahan nalar elite Orde Baru? Bukankah suksesi politik adalah peristiwa politik wajar, lumrah, dan sangat biasa layaknya pergantian siang dengan malam dan bukan hantu yang harus ditakuti atau bahkan harus dieliminasi dari kamus politik bangsa?
Massa Mengambang dan Kisah Pahit
Setidaknya ada dua faktor untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama, paranoia akan suksesi politik di kalangan elite yang menyuarakan penundaan pemilu tidak lepas dari proses terbentuknya elite politik (elite formation). Para elite ini dibentuk di tengah hiruk-pikuk kebijakan massa mengambang. Konsep mahakarya arsitek-arsitek politik Orde Baru ini bertujuan untuk depolitisasi dan deparpolisasi massa agar akselerasi pembangunan bisa tercapai.
Konsep massa mengambang berangkat dari asumsi bahwa mayoritas rakyat Indonesia buta politik sehingga rentan diperdaya oleh partai-partai yang menggunakan ideologi dan organisasi massa untuk berkontestasi dalam pemilu (Moertopo, 1972). Oleh sebab itu aktivitas partai harus dibatasi. Partai dilarang untuk memiliki struktur organisasi sampai di tingkat terbawah seperti desa dan dibatasi hanya sampai tingkat Kota/Kabupaten (Moertopo, 1972).
Aspirasi politik masyarakat di tingkat grassroots hanya bisa disampaikan melalui Golkar yang berideologi pembangunan. Golkar yang pada masa itu bukan partai politik dan menyaru dengan aparat pemerintah memiliki keleluasaan untuk menggarap massa pedesaan dan memenangkan pemilu.
Dalam perjalanannya massa mengambang ini tidak hanya mendepolitisasi partai politik. Seluruh elemen bangsa yang independen dan kritis terhadap pemerintah seperti mahasiswa, intelektual, jurnalis, pemuka agama, juga dibonsai. Kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1978 adalah contoh implementasi massa mengambang di luar partai politik.
Kampus yang sebelumnya menjadi inkubator bagi bibit-bibit kepemimpinan nasional serta ruang bebas untuk mendiskusikan masalah politik bangsa serta mengartikulasikan penderitaan rakyat dibungkam oleh kebijakan NKK/BKK tersebut. Suksesi politik menjadi topik tabu dan dianggap subversif. Tak heran jika bangsa ini mengalami paceklik kepemimpinan. Manakala Reformasi bergulir dan Soeharto lengser tidak ada figur yang mampu pemimpin bangsa.
ABRI yang digadang-gadang sebagai reservoir pemimpin nasional justru kehabisan stok karena selama bertahun-tahun dipecah-belah oleh Bapak Pembangunan. Di kalangan sipil, upaya menyatukan tokoh-tokoh reformis dalam Deklarasi Ciganjur dalam waktu singkat mengalami kegagalan manakala keempat tokoh tersebut terbelah dalam menyikapi hasil Sidang Istimewa MPR pada November 1998. Golkar, mesin politik Orde Baru, juga tidak mampu menyetor kadernya sebagai pemimpin nasional karena proses kaderisasinya ditentukan oleh kedekatan atau kekerabatan dengan elite rezim.
Inilah konteks yang melatari kelahiran elite politik yang saat ini berada di lapis teratas partai. Sosialisasi politik, proses pewarisan nilai-nilai politik, yang dialami oleh para elite tersebut mendistorsi pemahaman mereka bahwa akuntabilitas dan basis legitimasi dari seorang politisi adalah kepada dan dari konstituennya, bukan dari penguasa.
Sosialisasi politik pada masa itu mengajarkan mereka bahwa karier seorang politisi ditentukan oleh seberapa terampil mereka dalam menjalin kedekatan dan mengartikulasikan keinginan penguasa bukan pada independensi yang berakar pada kemampuan memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai konstituen politik mereka.
Tak heran jika pemilu dan suksesi menjadi momok yang menakutkan bagi produk massa mengambang ini. Padahal pemilu seharusnya menjadi momen mereka untuk unjuk gigi betapa berakarnya kepemimpinan mereka sekaligus membuka pintu untuk menjadi pemimpin nasional berikutnya. Walhasil massa mengambang menghasilkan politisi yang emoh politik, alergi kompetisi, dan miskin narasi.
Faktor kedua adalah riwayat pahit suksesi politik yang merasuki alam pikir dari elite yang sedang berkuasa. Suksesi politik di era non-demokratik jelas menunjukkan getirnya proses suksesi politik. Kekacauan dan kekerasan menjadi ritual yang menandai berakhirnya rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Proses tersebut dinilai sebagai bukti sahih akan validitas ramalan Jayabaya akan datangnya Zaman Kalabendu.
Celakanya, para pemimpin bercorak otoriter tersebut justru memaknai bahwa kekacauan dan kekerasan adalah petunjuk dari langit sebagai penanda prosesi suksesi harus dimulai (Anderson, 1972). Dengan kata lain, mereka tidak mau turun dari tampuk kekuasaan selama keadaan masih stabil serta huru-hara belum merajalela. Padahal, keengganan untuk menjalani suksesi politik secara murni dan konsekuen, serta ketidakpastian tentang siapa yang akan menggantikan sang pemimpin karena ia berkuasa terlalu lama; itulah yang memicu rakyat untuk turun ke jalan dan mendorong elite secara berjamaah menjauhi penguasa.
Upaya depolitisasi dengan membonsai kekuatan-kekuatan politik pada akhirnya justru mengisolasi penguasa tersebut. Mereka turun dari singgasana kekuasaan dalam sunyi sepi karantina politik.
Demokrasi Harus Diperkuat
Refleksi di atas menunjukkan lemahnya akar dari para elite politik saat ini dan betapa kuatnya trauma akan suksesi politik. Tak pelak lagi demokrasi harus diperkuat agar suksesi tidak menjadi hantu. Demokrasi adalah satu-satunya sistem politik yang menyediakan mekanisme suksesi politik secara reguler, damai, transparan, dan partisipatif.
Pemilu, sebagai pengejawantahan demokrasi, merupakan protokol yang menjamin bahwa pergantian kekuasaan berlangsung adil, transparan, dan partisipatif. Pemilu memberi ruang bagi seluruh elemen bangsa untuk menentukan siapa figur yang paling layak untuk memimpin bangsa, sekaligus menghukum mereka yang dinilai tidak cakap dalam mengelola negara. Setiap warga dijamin hak pilihnya. Satu orang satu suara, tanpa mempedulikan atribut primordial maupun material. Oleh karenanya regularisasi penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali dan pembatasan kekuasaan harus dijaga.
Alasan ekonomi tidak pantas digunakan untuk menunda pemilu, apalagi dalam situasi open seat (petahana tidak dapat mencalonkan diri lagi). Menunda pemilu justru membahayakan ekonomi nasional karena itu memberi sinyal buruk kepada kapital bahwa pemilu sebagai mekanisme yang menjamin suksesi berjalan lancar dan damai rupanya dapat diintervensi oleh segelintir elite yang kepentingannya terancam.
Harusnya para elite masih ingat bahwa ambruknya rupiah pada Januari 1998 disebabkan karena ketakutan investor akan kondisi ekonomi seiring memburuknya kesehatan Presiden Soeharto pada Desember 1997. Pecahnya konflik pada 1965 juga disebabkan oleh memburuknya kesehatan Presiden Sukarno. Tidak adanya mekanisme reguler untuk pergantian kepemimpinan nasional (baca: pemilu) itulah yang menyebabkan huru-hara politik pada 1998 dan 1965.
Wacana menunda atau mengeliminasi suksesi adalah wacana politik yang miskin. Ia memiskinkan rakyat dan juga elite itu sendiri. Memimpin negara yang struktur dan logikanya dititiskan dari Hindia Belanda (Anderson, 1983), kata pepatah, ibarat menunggangi harimau: mengerikan untuk ditunggangi, tetapi juga mengerikan jika si penunggang itu memutusken untuk menyataken berhenti menungganginya.
Oleh karena itu, protokol politik untuk mengatur pergantian penunggang harimau tersebut justru wajib diperkuat, bukan ditunda atau dihapuskan, agar mereka dapat naik dan turun dari punuk harimau dengan selamat sentosa tanpa digelayuti ketakutan yang tidak perlu.
Azriansyah kandidat doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University, Amerika Serikat
Simak Video 'Puan Maharani Tegaskan Tak Ada Penundaan Pemilu 2024':
(mmu/mmu)