Kolom

Mereduksi Ketergantungan Impor Kedelai

Edy Purwo Saputro - detikNews
Selasa, 15 Mar 2022 11:30 WIB
Ilustrasi: Mindra Purnomo/detikcom
Jakarta -

Kenaikan harga komoditas mulai terjadi, termasuk yang terbaru kenaikan harga gas dan daging sapi. Sebelumnya, konsumen tahu-tempe juga resah terkait ketersediaan di pasaran dan berbuntut ancaman mogok. Kasus ini menyuarakan jeritan akibat kelangkaan dan kenaikan harga kedelai, sementara kedelai menjadi bahan baku produksi tahu-tempe. Padahal, kasus lainnya belum tuntas yaitu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Meski pemerintah menggelontorkan operasi pasar, tapi faktanya minyak langka dan harga tetap tinggi. Di sisi lain, situasinya menjadi runyam akibat kelangkaan dan kenaikan harga kedelai.

Fakta ini menjadi ironi bagi rumah tangga dan pedagang. Pilihan rasional yang paling mungkin dilakukan adalah memperkecil ukuran karena sisi kepentingan mempertahankan kemampuan beli masyarakat, namun di sisi lain produksi dari semuanya jelas membutuhkan kepastian harga, maka rencana kenaikan harga logis karena menutup biaya produksi adalah penting untuk bertahan. Kasus ini menegaskan produksi dan distribusi tahu-tempe bukan sesuatu yang remeh karena merupakan menu atau lauk keseharian dan sekaligus pemenuhan kebutuhan protein yang murah untuk ukuran rumah tangga secara mayoritas di Indonesia.

Jaminan

Mencermati persoalan tahunan kedelai bisa dipetakan mengacu sejumlah pertimbangan. Pertama, persoalan kelangkaan dan kenaikan harga kedelai cenderung terus berulang dan hal ini membuktikan bahwa ketergantungan dari importir juga perlu dicermati. Data BPS menyebut kebutuhan konsumsi kedelai per tahun mencapai 3 juta ton sementara 2,6 juta ton berasal dari impor. Dominasi impornya berasal dari AS dan data 2021 impor sebanyak 2,2 juta ton senilai US$ 1,29 miliar atau Rp 18,32 triliun.

Jadi, impor dari AS dominan karena sekitar 87% dan ketergantungan ini sangat rentan jika terjadi sesuatu, misal anomali cuaca dan imbasnya terhadap pasokan dalam negeri. Oleh karena itu, mereduksi ketergantungan, bukan hanya kedelai tetapi juga untuk semua komoditas menjadi penting dan aspeknya sangat strategis, termasuk juga imbasnya terhadap neraca perdagangan.

Kedua, murahnya ketersediaan tahu-tempe dalam pemenuhan protein terlihat dari rata-rata konsumsi tahu sebanyak 0,15 kg setiap penduduk setiap pekan untuk tempe sebanyak 0,14 kg. Data BPS juga menyebut konsumsi kedelai per kapita Indonesia pada 2019 mencapai 2,09 kg. Meski angka ini turun 5,9% dari 2019 yaitu 2,22 kg, tapi kumulatif sampai 2029 diprediksi meningkat seiring dengan kebutuhan protein.

Terkait ini, data Outlook Kedelai 2022 Kementan meyakini bahwa peningkatan konsumsi tidak bisa terlepas dari fakta penurunan daya beli masyarakat, termasuk juga imbas resesi global. Selain itu, terjadinya pergeseran keperilakuan konsumsi kelas menengah secara tidak langsung juga berdampak terhadap peningkatan konsumsi terkait kebutuhan untuk pemenuhan protein melalui konsumsi tahu-tempe secara agregat.

Ketiga, problem di balik konsumsi tahu-tempe yang menu harian, ironisnya komoditas kedelai sebagai bahan baku produksi justru harus diimpor. Data Kementan menjelaskan 86,5% pemenuhan kedelai dalam negeri harus dipenuhi dengan impor dan yang namanya impor pastilah berkaitan dengan pasokan dalam negeri yang tidak cukup. Data BPS bahwa pada 10 tahun terakhir produksi kedelai dalam negeri cenderung terus menurun yaitu 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424 ribu ton pada 2019.

Problem ini tentu berkaitan dengan luas areal pertanian yang semakin menyusut karena beralih ke perumahan-permukiman. Data menunjukkan penyusutan luas pertanian kedelai dari 661 ribu hektar pada 2019 menjadi 285 ribu hektar pada 2019.

Keempat, persoalan penyusutan luas areal pertanian kedelai bukan satu-satunya karena kasus di pertanian pangan juga sama. Generalisasinya adalah peralihan lahan pertanian ke sektor non-pertanian dan peralihan menjadi lahan permukiman-perumahan adalah yang terbesar sebagai konsekuensi dari laju pertambahan jumlah penduduk yang relatif tinggi baik di perkotaan atau pedesaan. Peralihan fungsi ini menjadi catatan penting untuk mereduksi ancaman penyusutan produktivitas pertanian secara agregat.

Selain itu, fakta tuntutan ekonomi juga menjadi persoalan serius terkait transformasi lahan yang jika diantisipasi, maka memicu ancaman secara nasional terutama terkait aspek pasokan pertanian pangan dan juga komitmen mencapai ketahanan pangan nasional.

Kelima, temuan lain di balik komitmen mereduksi ketergantungan impor kedelai yaitu mengubah keperilakuan produsen-pengrajin tahu-tempe beralih dari penggunaan kedelai impor ke konsumsi lokal. Pertimbangannya juga rasional karena tingkat pengembangan kedelai impor dibanding lokal relatif cukup tinggi yaitu perbandingan untuk 1 kg impor bisa mengembang menjadi 1,6-1,8 kg sementara untuk kedelai lokal hanya 1,4-1,5 kg.

Perbedaan ini menjadi logis jika kemudian kebutuhan produksinya lumayan banyak di setiap harinya. Oleh karena itu kapasitas mengembang kedelai impor menjadi salah satu pilihan rasional jika kemudian pengusaha-pengrajin tahu-tempe banyak memilihnya.

Keenam, tingginya konsumsi protein dari komoditas tahu-tempe dan rendahnya aspek pasokan karena minimnya produktivitas yang kemudian ditutup dengan impor memberi gambaran bahwa pertanian kedelai dan budidaya kedelai secara umum tidak memberi jaminan terhadap kesejahteraan hidup petani secara keseluruhan. Logikanya jika mampu memberikan perbaikan hidup, maka tentu petani akan berbondong-bondong menanam kedelai atau setidaknya tumpangsari kedelai dan padi tiap tahunnya. Artinya, budidaya kedelai tidak menjanjikan dan petani tidak tertarik menanamnya.

Data BPS menyebut harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata Rp 8.248 per kg dan di harga di konsumen menjadi Rp 10.415 per kg. Jadi, perbandingan keuntungan dan masa tanam tidak cocok atau dinilai terlalu rendah untuk masa tanam sekitar 3-4 bulan sehingga banyak petani yang akhirnya tidak memilih menanam kedelai dan atau beralih fungsi ke sektor lainnya yang lebih menjanjikan kesejahteraan. Bahkan, kisaran harga itu jauh dibanding jagung dan padi dengan masa tanam yang relatif sama.

Komitmen

Kunci mereduksi ketergantungan menjadi sangat penting agar fluktuasi harga kedelai di pasar global tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan produksi berbasis kedelai secara keseluruhan. Oleh karena itu, kuncinya mengacu keenam pembahasan di atas.

Pertama, memberikan kepastian terhadap petani untuk bertanam kedelai dengan harapan adanya perbaikan harga dan imbasnya kepada kesejahteraan petani. Jika ini berhasil dilakukan, maka nilai tukar petani khususnya petani kedelai akan meningkat dan jangka panjang di sektor pertanian pangan dan pertanian kedelai akan semakin menarik minat petani terjun ke sektor pertanian, bukan justru bertransformasi ke sektor lain.

Kedua, kerawanan terhadap neraca perdagangan jika nafsu impor kedelai terus dipacu, termasuk juga untuk komoditas yang lain. Meski impor itu sendiri tidak dilarang tetapi ketergantungan impor jelas berdampak negatif terhadap kemampuan produksi di dalam negeri dan juga jangka panjangnya bisa mematikan ketertarikan terhadap pertanian pada sektor impor tersebut, terutama dalam kasus ini adalah impor kedelai.

Setidaknya, kasus impor kedelai tahunan dan fluktuasinya yang berpengaruh terhadap kesejahteraan para pengusaha-pengrajin tahu-tempe harus dicermati dan pemerintah melalui Kementan, Disperindag, dan Bulog, termasuk Kepala Daerah perlu bersinergi menciptakan daerah sentra produksi untuk setiap komoditas tertentu sehingga bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri, mereduksi ketergantungan impor dan pasti memacu kesejahteraan petani-rakyat.

Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Simak juga 'Pedagang Tahu Tempe di Tasik Kembali Berjualan, Tapi Ukuran Berubah':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork