Beberapa hari lalu salah satu rekan penggiat kebencanaan dan juga relawan penanganan COVID-19 curhat tentang kurang tepatnya penanganan pandemi. "Kita sibuk melakukan respons bukan mencegah atau menyiapkan masyarakat siap menghadapi pandemi. Kita seperti berupaya mematikan api, tetapi kita tidak mencari titik api intinya untuk dimatikan," ujarnya.
Dia melanjutkan kegelisahannya, seberapa banyaknya penambahan jumlah tempat tidur pasien COVID-19 di rumah sakit maupun di shelter tetap saja tidak ada pengaruhnya bila kita tidak mengubah strategi pencegahannya. Dia curhat karena setiap hari ada penambahan warga di desanya yang terkonfirmasi positif dan harus segera ditangani baik dengan mengantar ke rumah sakit atau cukup isoman saja. Dia dan relawan lainnya juga harus menangani penguburan cepat jenazah positif COVID-19.
Cerita rekan saya tadi mengingatkan saya saat konsultan spesialis pengurangan risiko bencana (PRB) dari UNDP New York memberikan materi kepada saya dan staf proyek lainnya beberapa tahun silam. Di awal materinya, dia memutar film pendek yang berjudul #ActNow, Save Later, proyek film yang dibuat oleh UNDP dan UNOCHA.
Film pendek itu bercerita bahwa setiap satu dolar yang dihabiskan untuk pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat menghemat tujuh dolar sebagai upaya respons. Film ini mengkampanyekan upaya pencegahan dan kesiapsiagaan sebagai kunci dalam penanggulangan bencana. Intinya, investasi pencegahan dan kesiapsiagaan akan memanen hasil yang baik yaitu berupa respons yang minimalis ketika terjadi bencana.
Payung Hukum
Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai payung hukum penanggulangan bencana dengan terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB). Sebelum adanya UU tersebut paradigma penanggulangan bencana di Indonesia menitikberatkan pada upaya tanggap darurat atau respons bencana. Oleh karena itu pada umumnya tindakan yang dilakukan adalah upaya reaktif yang sifatnya kedaruratan.
Sedangkan pasca terbitnya UU tersebut, paradigmanya bergeser dari respons menjadi pencegahan dan kesiapsiagaan. Pencegahan dan kesiapsiagaan bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Salah satu langkah yang bisa kita lakukan bersama yaitu meningkatkan kapasitas dan upaya masyarakat dalam menghadapi bahaya, misalnya dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Khususnya bencana pandemi COVID-19, sudah banyak upaya dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menanganinya. Tetapi belum efektif dan optimal dalam menekan laju penularan virus COVID-19. Luhut Pandjaitan selaku Koordinator PPKM darurat sempat menyampaikan permintaan maaf atas penerapan kebijakan PPKM darurat Jawa dan Bali yang masih belum optimal.
Untuk itu, langkah yang tepat dan berdaya guna dalam penanggulangan COVID-19 adalah mengembalikan paradigma PB seperti tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang PB yaitu memfokuskan pada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Upaya mengembalikan paradigma PB pada jalur yang benar memang memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Walaupun, upaya respons tetap harus terus dilakukan beriringan dengan upaya pencegahan dan kesiapsiagaan saat pandemi ini.
Urusan Bersama
Dalam pidato serah terima jabatan Kepala BNPB, Mei lalu Doni Monardo menyampaikan bahwa bencana adalah urusan bersama. Artinya, bencana bukan hanya menjadi urusan pemerintah saja tapi semua elemen bangsa, termasuk masyarakat.
Masyarakat memiliki peran utama dalam penanggulangan bencana pandemi ini. Seperti dilansir detikcom (29/6), epidemiolog Pandu Riono mengatakan faktor perilaku manusia yang menjadi penyebab utama penyebaran COVID-19. Aktivitas masyarakat yang masif membuat tingkat penularan meningkat. Maka perilaku masyarakat dengan segala aktivitasnya bisa menjadi penentu tinggi rendahnya penularan.
Sebagai bagian dari masyarakat, upaya yang bisa kita lakukan bersama adalah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Sedangkan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada masyarakat terkait penanggulangan COVID-19 secara terus menerus dan konsisten.
Strategi KIE efektif yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung oleh unsur PB yang sering disebut unsur pentahelix yaitu sinergitas antara pihak pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi atau pakar, dan media massa. Oleh karena itu para pihak tersebut mempunyai peran dan kapasitas masing-masing yang perlu disinergikan agar menjadi kekuatan yang cukup mumpuni dalam menangani pandemi.
Salah satu contoh strategi KIE oleh pemerintah kepada masyarakat adalah menggandeng pemuka agama untuk sosialisasi penanggulangan COVID-19 yang sesuai panduan pemerintah. Misalnya menggandeng kiai, ustaz, pendeta, atau pemimpin agama lainnya. Sosialisasi ini bisa dilakukan saat khotbah Salat Jumat atau saat pelaksanaan misa hari Minggu bagi umat Katholik.
Saat ini sebagian masyarakat menganggap COVID-19 ini rekayasa atau konspirasi. Sehingga banyak masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan bahkan menolak untuk vaksin. Oleh karena ini upaya KIE dari pemerintah kepada masyarakat harus dilakukan secara masif dan terus menerus untuk mereduksi informasi yang sesat atau hoax di tengah masyarakat.
Strategi KIE ini salah satu upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dalam penanggulangan COVID-19. Sehingga kalau ini betul-betul dilaksanakan secara masif dan konsisten oleh pemerintah, maka bisa dikatakan merupakan upaya dalam mengembalikan paradigma penanggulangan bencana ke jalur yang benar.
Humam Zarodi mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Simak juga 'Menakar Probabilitas Level Covid-19 RI Turun dari Pandemi ke Endemi':
(mmu/mmu)