China selalu memberikan kejutan kepada dunia dengan penemuan-penemuan ataupun langkah-langkah yang dilakukan dalam memudahkan kehidupan manusia. Dari mulai bagaimana pada awal dilanda COVID-19 hanya dalam waktu 8 hari dapat membangun rumah sakit khusus pasien COVID-19 dengan berisi 1500 kamar di atas lahan seluas 2,4 hektar, lalu mampu memproduksi massal vaksin COVID-19 sehingga dapat membantu banyak negara salah satunya Indonesia.
Laporan Telecoms menyebutkan China National Intellectual Property Administration (CNIPA) telah mengumumkan bahwa China memimpin dunia dalam 6G, sedangkan banyak negara lain dalam menggunakan teknologi 5G pun belum familier. Yang menghebohkan, China membuat "matahari buatan", yaitu reaktor nuklir yang dapat menghasilkan panas 10 kali lebih panas dari inti matahari yang suhunya bisa mencapai sekitar 15 juta derajat Celcius yang kegunaannya untuk energi fusi yang akan dikomersialkan pada 2050.
Hingga yang terakhir, pada Juni 2021 China sukses meluncurkan pesawat luar angkasa Shenzhou-12 yang membawa tiga astronaut mereka ke luar angkasa menuju Tiangong yang merupakan stasiun ruang angkasa China.
Perjalanan Panjang Kebijakan
Melesatnya China menjadi negara maju dan modern tidaklah instan. Menurut Dongmin Chen dari Peking University dalam tulisannya The Impact of Science and Technology Policies on Rapid Economic Development in China, China dapat mewujudkan semua itu melalui proses perencanaan jangka panjang dalam hal pembangunan riset dan inovasi. Sejak 1978 China telah mengimplementasikan serangkaian kebijakan reformasi sains dan teknologi dalam skala besar yang dapat mengakselerasi kemajuan dalam pendidikan tinggi serta research and development (R&D).
Laporan Telecoms menyebutkan China National Intellectual Property Administration (CNIPA) telah mengumumkan bahwa China memimpin dunia dalam 6G, sedangkan banyak negara lain dalam menggunakan teknologi 5G pun belum familier. Yang menghebohkan, China membuat "matahari buatan", yaitu reaktor nuklir yang dapat menghasilkan panas 10 kali lebih panas dari inti matahari yang suhunya bisa mencapai sekitar 15 juta derajat Celcius yang kegunaannya untuk energi fusi yang akan dikomersialkan pada 2050.
Hingga yang terakhir, pada Juni 2021 China sukses meluncurkan pesawat luar angkasa Shenzhou-12 yang membawa tiga astronaut mereka ke luar angkasa menuju Tiangong yang merupakan stasiun ruang angkasa China.
Perjalanan Panjang Kebijakan
Melesatnya China menjadi negara maju dan modern tidaklah instan. Menurut Dongmin Chen dari Peking University dalam tulisannya The Impact of Science and Technology Policies on Rapid Economic Development in China, China dapat mewujudkan semua itu melalui proses perencanaan jangka panjang dalam hal pembangunan riset dan inovasi. Sejak 1978 China telah mengimplementasikan serangkaian kebijakan reformasi sains dan teknologi dalam skala besar yang dapat mengakselerasi kemajuan dalam pendidikan tinggi serta research and development (R&D).
Sampai saat ini China telah melalui fase-fase yang panjang dalam sains dan teknologi serta R&D. Diawali dari Fase Eksperimen yang berjalan pada periode 1978-1985, reformasi kebijakan diawali dengan fokus melakukan spin-off (pemisahan unit agar tidak menjadi beban organisasi induk) dan privatisasi secara parsial bagian-bagian tertentu dari lembaga penelitian yang dianggap layak secara komersial. Kebijakan yang bertujuan memisahkan beberapa bagian dan kemudian publik dapat mengelola bagian ini, dilakukan untuk meringankan beban keuangan lembaga induk.
Salah satu contoh perusahaan produk dan layanan komputer yang terbentuk pada fase ini adalah Lenovo (sebelumnya berawal dari Legend Group). Lenovo terbentuk melalui spin-off dari Institut Komputasi dari The Chinese Academy of Science and Technology dan konglomerat yang menjadi founder group ini merupakan spin-off dari Peking University berbasis Digital Asian Typesetting.
Fase selanjutnya adalah Fase Reformasi Sistemik yang berjalan dalam rentang 1985-1995. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Reformasi Sistem Sains dan Teknologi. Tujuan utama dari UU ini adalah untuk menjembatani kesenjangan antara lembaga penelitian dan industri terkait. Dengan menekankan daya saing dan koneksi terhadap pasar, UU tersebut bertujuan untuk secara bertahap memperkuat dampak ekonomi dari pendanaan sains dan teknologi.
Salah satu bentuk implementasi UU ini adalah pendirian National Natural Science Foundation of China, yang tugasnya untuk mempromosikan dan membiayai penelitian dasar dan terapan. Di fase ini juga pemerintah mendorong cendekiawan-cendekiawan Tionghoa perantauan untuk kembali ke China dan mengambil posisi sebagai pengajar dan peneliti.
Setelah itu China masuk dalam Fase Reformasi Pendalaman (1996-2006). Pada fase ini China mengeluarkan UU tentang Mempromosikan Komersialisasi Penemuan Sains dan Teknologi. UU ini berisi 3 hal; pertama, menggeser inovasi yang dihasilkan dari organisasi riset publik ke sektor industri; kedua, meningkatkan kapasitas R&D dan inovasi pada sektor industri; ketiga, meningkatkan efisiensi komersialisasi hasil akademik.
Pada fase ini juga pemerintah dengan program Yangzi River Scholars meningkatkan insentif bagi para profesor dan peneliti untuk menarik mereka yang potensial agar mau melakukan aktivitas akademik dan penelitiannya di perguruan tinggi.
Fase yang terakhir yang sudah dilalui adalah Rencana Jangka Panjang dan Optimalisasi Kebijakan (2006–2014). Pada fase ini tujuan kebijakan bergeser dari mempromosikan R&D menjadi membangun ekosistem inovasi.
Pada akhir 2012, China menetapkan strategi pertumbuhan yang didorong oleh inovasi sebagai strategi pembangunan nasional. Ini menyerukan penetapan target yang jelas, meningkatkan kewirausahaan, menjadikan industri sebagai pendorong utama di balik inovasi, dan membangun mekanisme berorientasi pasar untuk memfasilitasi transfer teknologi kolaboratif dari akademisi ke sektor industri. Sehingga perubahan ini pada akhirnya mendorong daya saing global Tiongkok dalam hal inovasi dan memastikan pembangunan berkelanjutan jangka panjang.
Antara tahun 2002 dan 2012 produk teknologi yang dihasilkan meningkat pesat, terutama setelah 2006. Peningkatan ini menunjukkan bahwa kebijakan inovasi pemerintah China berhasil menarik organisasi untuk berinvestasi dalam R&D dan membantu perusahaan untuk menjadi lebih sukses dalam hal inovasi. Bahkan yang menakjubkan investasi pemerintah daerah dalam hal R&D itu lebih besar daripada pemerintah pusat.
Selain itu, respons pasar yang positif mendorong sektor industri untuk terus meningkatkan investasi dalam hal R&D, terlihat dari data Global Innovation Index (GII) bahwa R&D yang dibiayai oleh sektor bisnis tumbuh dari 73,9% pada tahun 2011 menjadi 74,6% pada 2014.
Teraktual, China masuk urutan ke-14 GII 2020 yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). China berada di urutan ke-1 di antara negara upper-middle income economies dan urutan ke-4 di wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Oseania. Terdapat 7 pilar penilaian GII, yaitu (1) infrastruktur, (2) kecanggihan pasar, (3) keluaran pengetahuan dan teknologi, (4) keluaran kreatif, (5) institusi, (6) sumber daya manusia dan penelitian, dan (7) kecanggihan bisnis.
Negara R&D = Negara Kesejahteraan
Robert M. Solow pada 1965 dalam tulisannya yang berjudul A Contribution to The Theory of Economic Growth mengatakan bahwa kemajuan teknologi dapat menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Melihat perjalanan panjang China dalam R&D yang berkelanjutan membuktikan bahwa keberpihakan negara pada R&D dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan suatu negara serta kesejahteraan masyarakatnya.
China menyadari bahwa sains dan teknologi merupakan sesuatu hal yang tidak terbatas karena akan terus berkembang hingga masa depan. Berbagai dimensi kehidupan rakyat di berbagai aspek perlu secara terus menerus mendapat sentuhan teknologi dan inovasi baru agar memperoleh kemudahan. Sehingga menjalankan R&D secara berkelanjutan merupakan jembatan menuju negara kesejahteraan.
Achyar Al Rasyid kandidat Ph.D di Tianjin University, China; dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Cirebon
(mmu/mmu)