"Man" Parekraf Pandemi

Kolom

"Man" Parekraf Pandemi

Sari Lenggogeni - detikNews
Minggu, 07 Feb 2021 17:38 WIB
Sandiaga Uno berkantor di Bali,Kamis (28/1)
Foto: Sandiaga Uno (dok Kemenparekraf)
Jakarta -

Sejatinya judul tulisan ini adalah Menparekraf di tengah Pandemi. Tapi saya mesti mengganti Menparekraf menjadi "Man" (tokoh yang sedang berjuang) Parekraf (karakteristik ketokohan di bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dalam perang di tengah Pandemic COVID-19.

Ada yang menarik dari kabinet Indonesia Maju--setengah jalan-kali ini. Seorang Menteri yang sedang menggambarkan karakter sektor yang ia naungi saat ini. Iya, beliau adalah Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.

Agaknya sosok Sandi Uno dalam penilaian saya bisa dikatakan overcapacity untuk jabatan yang ia emban saat ini. Tapi dalam pandangan saya, justru ini lah kekuatan dan modal perang yang ia miliki, yang akhirnya mengubah kacamata apatis saya dengan lensa optimisme. Sangat dipahami, bagaimana mungkin mudah bertarung melawan dahsyatnya dampak krisis kesehatan terburuk dalam sejarah pariwisata menurut UNWTO. Bahkan akibat pandemic COVID-19, sektor ini secara global dinilai mundur 30 tahun ke belakang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menteri dan cerminan pekerjaannya

Mungkin saya menilai terlalu dini, tapi sebulan saja saya saya mengamati bagaimana ia bekerja, saya optimis dengan masa depan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif ini. Sependek pengetahuan saya mengamati banyak stakeholders, pentahelix pariwisata dan jajaran Menteri yang bertarung menyumbangkan devisa ke negara, Sandi adalah sosok yang sangat mampu mendeskripsikan pengertian pariwisata dan ekonomi kreatif secara luas dengan data dan aksi nyata. Mari kita kupas satu per satu.

ADVERTISEMENT

Menghimpun data sebelum melakukan konfirmasi fakta

Sebulan beliau bekerja, awalnya saya agak pesimis dengan beberapa program lanjutan dan arahan yang diamanahkan ke beliau dari negara. Sangat dipahami, sektor pariwisata rentan terhadap krisis dan bencana. Dan masalah kita bukan saja perang dalam krisis kesehatan, tapi Indonesia sebagai labor bencana alam karena posisi Indonesia pada ring of fire dan rekam jejak kasus terorisme yang pernah menghantam destinasi wisata beberapa tahun lalu. Sayangnya, aspek krisis dan bencana tidak masuk dalam Undang Undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Khusus tentang krisis COVID-19 kali ini, seluruh dunia mengalami hal yang sama. Perbedaannya adalah bagaimana respons mitigasi krisis yang dilakukan suatu negara. Jika negara dianggap mampu menekan laju kasus secara signifkan, maka silverlining-nya nya ia akan jadi pemenang meraih kepercayaan internasional pasca krisis. Tentu tidak gampang, jangankan untuk 159 negara yang tergabung dalam UNWTO, untuk Asia Tenggara saja sudah bagus. Namun sayangnya saat ini, kasus COVID Indonesia disorot sebagai kasus tertinggi di Asia Tenggara. Tentu ini akan berimplikasi pada daya saing keamanan berwisata dan urutan kelompok negara dengan resiko (tinggi) pasca krisis nanti.

Di sini, saya mengamati, Sandi mulai memainkan perannya. Saat ini beliau didaulat sebagai pemegang komando kepala dinas pariwisata untuk 514 kabupaten kota mulai melakukan penyamaan persepsi. Pesan yang disampaikan melalui berbagai platform beliau seakan berteriak "Hello pemegang kebijakan pariwisata, sektor kita tidak bisa berjalan sendiri lho, tidak bisa bermusuhan dengan sektor kesehatan. Sektor pariwisata adalah hulu, kesehatan adalah hilir, dan kita bersahabat erat!". Makna yang tersirat disini layaknya "ayo, buat program yang menyesuaikan dengan kondisi pandemic, biar perlahan tapi kita bertumbuh tanpa berpotensi mencederai sektor kesehatan".

Jujur, saya sudah apatis. Karena sering saya melihat kedua sektor seakan terjadi tarik menarik. Relaksasi- muncul potensi kenaikan kasus COVID-19--terjadi kembali pembatasan--sektor pariwisata melambat kembali. Saya pikir ini bukan masalah sederhana, tidak hanya dampak spill over negatif seperti extra social dan health cost yang ditimbulkan pada sektor kesehatan dari perspektif makro, juga endless loop yang tidak selesai. Berujung pada pasca krisis nanti, persaingan negara dengan low risk index akan muncul di Asia Tenggara merebut pasar wisatawan mancanegara yang sudah lama terkarantina.

Sandi, dalam pemberitaan Instagramnya, langsung fokus melakukan gerakan masker bersama, berkomunikasi dengan jubir Satgas COVID -19 dan selalu menyampaikan upaya swab--3T yang selayaknya dilakukan di industri pariwisata. Benar, karena jika intervensi difokuskan dari sisi demand, seperti mendorong wisatawan, potensi resiko makro tadi akan muncul; bisa saja tidak akan berjalan mulus (travel sentimen masih negatif) atau kembali ke endless loop tadi.

Di sini saya menilai peranan Sandi cerdas melakukan edukasi menggugah empati dan mengedukasi stakeholders parekraf nya tentang kondisi dua sektor yang seharusnya bersahabat erat ini.

Sandi dan sosok membumi

Sekompleks apapun aktivitas pariwisata, saya cenderung mengatakan itu milik masyarakat, identitas kebanggaan suatu daerah, dan ujungnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pariwisata itu bukan gambaran kaku, birokratis, elit, yang hanya bermain di belakang meja. Sandi, dengan karakter santuy tapi tegas, down to earth, bermain ke lapangan. Agaknya ia tidak perlu dielukan, karena proses elu-mengelukan sudah lewat. Ia lakukan crosscheck data dan fakta. Satu per satu ia lakukan kunjungan lapangan, sebulan ini sudah lebih 3 pulau di Indonesia yang ia lompati. Sandi memperlihatkan kondisi riil di industri dan destinasi pada publik. Membumi, bukan seperti sosok pejabat tinggi yang layak diperlakukan eksklusif. Dengan santai ia memahami hambatan, potensi, tangisan dari pelaku. Ah, secara tidak langsung, negara tidak perlu keluar biaya marketing communication untuk target wisatawan nusantara (wisnus)nya.

Dengan followers 7.6 juta, Sandi melakukan endorse dan storynomics (meminjam istilah Irfan Wahid) pada setiap industri ekraf dan destinasi yang ia kunjungi. Tumbuh optimisme saya. Saat ini mungkin intensi berkunjung wisnus masih terbelenggu dengan risiko tertular COVID-19 (43% menunjukkan belum akan berwisata ditahun 2021--hasil riset Pusat Studi Pariwisata Unand), terjadi transformasi perilaku wisnus akibat pandemic, juga daya beli turun (spending untuk pariwisata akan digeser pasca krisis). Tapi hasil riset juga menunjukkan bahwa emosi berwisata mereka sangat volatile dan terkarantina. Mereka mungkin saat ini tidak bisa berkunjung ke Bali, tapi berpotensi melakukan virtual commerce ekraf dari Bali. Daya beli pun bisa jadi mulai meningkat!

Saya paham Sandi sedang melakukan virtual tour gratis pada 7 juta followernya, tapi implikasinya Sandi mulai menggeser bisnis model virtual tour menjadi virtual commerce. Karena sejujurnya saya belum yakin demand virtual tour tinggi di Indonesia, karena travelling itu substansinya tourist experience. Tourist experience itu bisa dicapai jika dirasakan melalui lima panca indera: lihat, rasa, dengar, sentuh, penciuman. Virtual tour juga hanya mampu mengambil 2 dari 5 aspek esensi tourist experience: lihat dan dengar.

Saya sepakat, untuk tahap awal dua sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini, Sandi menfokuskan pada ekonomi kreatif. Melakukan stimulus daya beli konsumen yang sedang beradaptasi (baca: fokus pada kebutuhan primer; kesehatan dan kuliner). Namun, mungkin langkah ini perlu dibuat sistematis dan terealisasi pada e-bazar ekraf nantinya. Subsektor fashion yang telah beradaptasi dengan transformasi perilaku dan kebutuhan konsumen saat ini (misal: masker dan asesorisnya), kuliner, bisa di realisasikan pada virtual commerce dengan aspek beli dan empati. Membeli produk ekraf sesuai kebutuhan konsumen masa pandemic, menyalurkan empati pada pelaku usaha yang terdampak.

Pekerjaan rumah terberat lainnya yang dihadapi Menparekraf adalah soal hospitality dan kolaborasi. Dengan jumlah 34 provinsi, 17.491 pulau, 1340 lebih suku bangsa, wajar Indonesia punya tingkat penerimaan yang berbeda untuk sektor pariwisata. Menteri pariwisata tahun 2014-2019 Arief Yahya dinilai cukup berhasil membuka mata masyarakat Indonesia menjadikan pariwisata sebagai sektor idola pada periodenya. Banyak lompatan beliau, peringkat daya saing pariwisata Indonesia (Travel and Tourism Competitiveness Index) oleh World Economic Forum melompat dari posisi 70 (tahun 2013) ke peringkat 40 (tahun 2019) dari 140 negara. Juga banyak bertumbuh dampak perkembangan lapangan pekerjaan terutama berbasis masyarakat. Banyak anak anak muda tergabung membuat kelompok sadar wisata (pokdarwis), apakah dalam format atraksi, desa wisata atau objek wisata buatan. Pun investasi skala besar untuk swasta.

Tapi di balik itu belum semua yang memiliki jiwa ramah menyapa. Kejadian semisal, premanisme pada destinasi wisata seperti tukang todong parkir, atau kalkulator rusak di rumah makan (baca: rumah makan tanpa transparansi harga), atau bentuk premanisme wisata lainnya. Ada juga yang mungkin mengamuk akibat pembeli batal melakukan transaksi setelah proses tawar menawar. Ada host yang "jutek" saat wisatawan bertanya informasi atau malah taksi tanpa argo. Ah tidak usah jauh jauh, antara kepala dinas juga banyak saling tidak mau kolaborasi sektoral walau sudah program sudah dicanangkan di Bappeda, "itu masalah sampah bukan kewenangan saya, itu di lingkungan hidup ; "ini sektor Pekerjaan Umum (PU) koq buat taman wisata ga ajak dinas pariwisata"; "ini sampah di sungai ga selesai karena kewenangan balai sungai bentrok" dan lainnya. Ohya, juga termasuk WC tanpa kelola. Kompleks! Karena pariwisata secara umum dimiliki dan berada langsung di bawah kewenangan kabupaten kota, mengikuti UU No 23 Tahun 2014 tentang peraturan daerah. Bagaimana pusat melakukan intervensi provinsi dan kabupaten kota?

Kompleks memang masalah koordinasi, kolaborasi membereskan hal ini. Tapi sekali lagi kuncinya adalah: keterlibatan dan hati. Sebelum masyarakat merasakan langsung dampak pariwisata pada mereka, hal hal di atas banyak sekali terjadi. "Gimana mau senyum manis kalau perut kosong" begitulah kalau kita mendengar masalahnya.

Gila. Ini bukan pekerjaan membalikkan telapak tangan. Saya sekali lagi mengamati apa yang dilakukan Sandi. Oh mas Menteri ini ternyata mencoba melakukan" interaksi tanpa batas" dan "kolaborasi langsung nge-gas". Kolaborasi baik level vertikal dan horizontal, apakah antar Menteri atau pelaku wisata dilakukan dengan santai. Ini yang saya sebut diawal (tulisan 1) overcapacity beliau dengan jabatannya. Sandi bukan saja mantan ketum HIPMI, juga beliau mudah sekali berkoordinasi antar K/L dengan cepat. Sandi tidak menggunakan gaya elitis kalua turun ke lapangan, ngobrol dengan masyarakat, dan berinteraksi seperti sahabat. Nilai apresiasi, membangun atmosfir positif, coopetitif (kolaboratif dan kompetitif). Ini tidak mudah. Karena masalah crack garis vertikal horizontal di sektor pariwisata itu issue klasik. Membuang ego sektoral, membangun hospitality yang ideal.

Ini cerminan sikap yang harga nya mahal. Secara tidak langsung Sandi mencontohkan sikap insan pariwisata itu pada dirinya. Untuk masyarakat tentu menjadi contoh yang sangat baik, tapi saya tidak tahu adakah para kepala dinas terselip diantara followers nya? Jika tidak, Sandi mungkin harus melakukan dua pertemuan virtual: kepala daerah untuk CEO Commitment untuk sektor pariwisata dan kepala dinas untuk memberikan edukasi menjadi kadis insan pariwisata. Karena kunci kerusuhan kerusuhan di atas adalah kolaborasi, interaksi, keterlibatan dari "hati".

Terakhir, untuk mengubah mindset wisatawan bertanggung jawab CHSE (contoh; perilaku buang sampah sembarangan, yang disalahkan pemerintah - bukan wisatawannya; berfoto diatas terumbu karang; atau ogah pake masker). Untuk hal ini beliau layak melakukan pertemuan virtual antara social influencer masing masing provinsi atau kota andalan.

Saya dan teman teman pegiat pariwisata pernah lakukan gerakan bersama pentahelix, dengan zero budget untuk program atraksi lebaran nyaman target wisnus peak season lebaran tahun 2018 dan 2019. Dalam proses ini, ada satu hal yang saya paling saya suka, jika selama ini netizen slalu mengutuk, membully pemerintah tidak becus menangani persoalan sampah di destinasi, polanya saya balik. Saya mengajak anak anak muda admin social influencer paling berpengaruh. Orientasi kita sederhana, menyorot mereka (wisatawan lokal/nusantara) yang sering buang sampah seenaknya, merusak fasilitas umum di destinasi, melakukan perjalanan wisata tanpa rasa tanggung jawab. Ternyata, it works! Netizen yang dahulu senang melakukan bullying dibalik akun fake-nya, mulai mengamuk jika ada wisatawan yang buang sampah seenaknya. Atau, melalui emotional appeals postingan foto candid bapak bapak tua yang selesai jogging memungut bekas bekas botol minuman plastik. Social punishment dan reward untuk hal positif. Misi turned the table accomplished! Sekali lagi kuncinya: libatkan dengan hati.

Kembali ke Mas Menteri, tentu harapan besar Indonesia tertumpang di beliau. Saya pribadi punya dua point untuk orientasi pariwisata berkelanjutan ini: akan muncul the next Sandi Uno pada level pemangku kebijakan di 34 provinsi dan terjadi transformasi responsible tourism (pariwisata yang bertanggung jawab) pada wisatawan.

Tentunya, ini bukan pekerjaan rumah yang selesai dua tahun ke depan, tapi siapapun Menteri berikutnya, kepala daerah, kepala dinas mampu melakukan strategi dan karakter yang dicontohkan the Man-Parekraf masa pandemic ini. Sebab pariwisata itu berkelanjutan, leadership sangat menentukan. Tapi tentu ini catatan saya untuk satu bulan Mas Menteri bekerja, geber nya sudah kelihatan, semoga hasilnya segera dirasakan.

Terakhir, satu hal yang menggelitik, saat saya menonton IG live Menparekraf dengan dr Reisa Broto Asmoro jubir Tim Gugus Tugas COVID-19. Mas Menteri "ngejongkok" di belakang lemari demi mencari sinyal dan meminta dr Reisa untuk bantu memperkuat sosialisasi 3M dan 3T. Demi kolaborasi hebat sektor pariwisata dan sektor Kesehatan.
Salam perjuangan pariwisata, Mas Menteri.

Sari Lenggogeni, Ph.D

Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas, pegiat pariwisata, tim ahli pokja pariwisata KEIN tahun 2016-2019

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads