Sejatinya judul tulisan ini adalah Menparekraf di tengah Pandemi. Tapi saya mesti mengganti Menparekraf menjadi "Man" (tokoh yang sedang berjuang) Parekraf (karakteristik ketokohan di bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dalam perang di tengah Pandemic COVID-19.
Ada yang menarik dari kabinet Indonesia Maju--setengah jalan-kali ini. Seorang Menteri yang sedang menggambarkan karakter sektor yang ia naungi saat ini. Iya, beliau adalah Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.
Agaknya sosok Sandi Uno dalam penilaian saya bisa dikatakan overcapacity untuk jabatan yang ia emban saat ini. Tapi dalam pandangan saya, justru ini lah kekuatan dan modal perang yang ia miliki, yang akhirnya mengubah kacamata apatis saya dengan lensa optimisme. Sangat dipahami, bagaimana mungkin mudah bertarung melawan dahsyatnya dampak krisis kesehatan terburuk dalam sejarah pariwisata menurut UNWTO. Bahkan akibat pandemic COVID-19, sektor ini secara global dinilai mundur 30 tahun ke belakang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri dan cerminan pekerjaannya
Mungkin saya menilai terlalu dini, tapi sebulan saja saya saya mengamati bagaimana ia bekerja, saya optimis dengan masa depan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif ini. Sependek pengetahuan saya mengamati banyak stakeholders, pentahelix pariwisata dan jajaran Menteri yang bertarung menyumbangkan devisa ke negara, Sandi adalah sosok yang sangat mampu mendeskripsikan pengertian pariwisata dan ekonomi kreatif secara luas dengan data dan aksi nyata. Mari kita kupas satu per satu.
Menghimpun data sebelum melakukan konfirmasi fakta
Sebulan beliau bekerja, awalnya saya agak pesimis dengan beberapa program lanjutan dan arahan yang diamanahkan ke beliau dari negara. Sangat dipahami, sektor pariwisata rentan terhadap krisis dan bencana. Dan masalah kita bukan saja perang dalam krisis kesehatan, tapi Indonesia sebagai labor bencana alam karena posisi Indonesia pada ring of fire dan rekam jejak kasus terorisme yang pernah menghantam destinasi wisata beberapa tahun lalu. Sayangnya, aspek krisis dan bencana tidak masuk dalam Undang Undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Khusus tentang krisis COVID-19 kali ini, seluruh dunia mengalami hal yang sama. Perbedaannya adalah bagaimana respons mitigasi krisis yang dilakukan suatu negara. Jika negara dianggap mampu menekan laju kasus secara signifkan, maka silverlining-nya nya ia akan jadi pemenang meraih kepercayaan internasional pasca krisis. Tentu tidak gampang, jangankan untuk 159 negara yang tergabung dalam UNWTO, untuk Asia Tenggara saja sudah bagus. Namun sayangnya saat ini, kasus COVID Indonesia disorot sebagai kasus tertinggi di Asia Tenggara. Tentu ini akan berimplikasi pada daya saing keamanan berwisata dan urutan kelompok negara dengan resiko (tinggi) pasca krisis nanti.
Di sini, saya mengamati, Sandi mulai memainkan perannya. Saat ini beliau didaulat sebagai pemegang komando kepala dinas pariwisata untuk 514 kabupaten kota mulai melakukan penyamaan persepsi. Pesan yang disampaikan melalui berbagai platform beliau seakan berteriak "Hello pemegang kebijakan pariwisata, sektor kita tidak bisa berjalan sendiri lho, tidak bisa bermusuhan dengan sektor kesehatan. Sektor pariwisata adalah hulu, kesehatan adalah hilir, dan kita bersahabat erat!". Makna yang tersirat disini layaknya "ayo, buat program yang menyesuaikan dengan kondisi pandemic, biar perlahan tapi kita bertumbuh tanpa berpotensi mencederai sektor kesehatan".
Jujur, saya sudah apatis. Karena sering saya melihat kedua sektor seakan terjadi tarik menarik. Relaksasi- muncul potensi kenaikan kasus COVID-19--terjadi kembali pembatasan--sektor pariwisata melambat kembali. Saya pikir ini bukan masalah sederhana, tidak hanya dampak spill over negatif seperti extra social dan health cost yang ditimbulkan pada sektor kesehatan dari perspektif makro, juga endless loop yang tidak selesai. Berujung pada pasca krisis nanti, persaingan negara dengan low risk index akan muncul di Asia Tenggara merebut pasar wisatawan mancanegara yang sudah lama terkarantina.
Sandi, dalam pemberitaan Instagramnya, langsung fokus melakukan gerakan masker bersama, berkomunikasi dengan jubir Satgas COVID -19 dan selalu menyampaikan upaya swab--3T yang selayaknya dilakukan di industri pariwisata. Benar, karena jika intervensi difokuskan dari sisi demand, seperti mendorong wisatawan, potensi resiko makro tadi akan muncul; bisa saja tidak akan berjalan mulus (travel sentimen masih negatif) atau kembali ke endless loop tadi.
Di sini saya menilai peranan Sandi cerdas melakukan edukasi menggugah empati dan mengedukasi stakeholders parekraf nya tentang kondisi dua sektor yang seharusnya bersahabat erat ini.
Sandi dan sosok membumi
Sekompleks apapun aktivitas pariwisata, saya cenderung mengatakan itu milik masyarakat, identitas kebanggaan suatu daerah, dan ujungnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pariwisata itu bukan gambaran kaku, birokratis, elit, yang hanya bermain di belakang meja. Sandi, dengan karakter santuy tapi tegas, down to earth, bermain ke lapangan. Agaknya ia tidak perlu dielukan, karena proses elu-mengelukan sudah lewat. Ia lakukan crosscheck data dan fakta. Satu per satu ia lakukan kunjungan lapangan, sebulan ini sudah lebih 3 pulau di Indonesia yang ia lompati. Sandi memperlihatkan kondisi riil di industri dan destinasi pada publik. Membumi, bukan seperti sosok pejabat tinggi yang layak diperlakukan eksklusif. Dengan santai ia memahami hambatan, potensi, tangisan dari pelaku. Ah, secara tidak langsung, negara tidak perlu keluar biaya marketing communication untuk target wisatawan nusantara (wisnus)nya.
Dengan followers 7.6 juta, Sandi melakukan endorse dan storynomics (meminjam istilah Irfan Wahid) pada setiap industri ekraf dan destinasi yang ia kunjungi. Tumbuh optimisme saya. Saat ini mungkin intensi berkunjung wisnus masih terbelenggu dengan risiko tertular COVID-19 (43% menunjukkan belum akan berwisata ditahun 2021--hasil riset Pusat Studi Pariwisata Unand), terjadi transformasi perilaku wisnus akibat pandemic, juga daya beli turun (spending untuk pariwisata akan digeser pasca krisis). Tapi hasil riset juga menunjukkan bahwa emosi berwisata mereka sangat volatile dan terkarantina. Mereka mungkin saat ini tidak bisa berkunjung ke Bali, tapi berpotensi melakukan virtual commerce ekraf dari Bali. Daya beli pun bisa jadi mulai meningkat!
Saya paham Sandi sedang melakukan virtual tour gratis pada 7 juta followernya, tapi implikasinya Sandi mulai menggeser bisnis model virtual tour menjadi virtual commerce. Karena sejujurnya saya belum yakin demand virtual tour tinggi di Indonesia, karena travelling itu substansinya tourist experience. Tourist experience itu bisa dicapai jika dirasakan melalui lima panca indera: lihat, rasa, dengar, sentuh, penciuman. Virtual tour juga hanya mampu mengambil 2 dari 5 aspek esensi tourist experience: lihat dan dengar.
Saya sepakat, untuk tahap awal dua sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini, Sandi menfokuskan pada ekonomi kreatif. Melakukan stimulus daya beli konsumen yang sedang beradaptasi (baca: fokus pada kebutuhan primer; kesehatan dan kuliner). Namun, mungkin langkah ini perlu dibuat sistematis dan terealisasi pada e-bazar ekraf nantinya. Subsektor fashion yang telah beradaptasi dengan transformasi perilaku dan kebutuhan konsumen saat ini (misal: masker dan asesorisnya), kuliner, bisa di realisasikan pada virtual commerce dengan aspek beli dan empati. Membeli produk ekraf sesuai kebutuhan konsumen masa pandemic, menyalurkan empati pada pelaku usaha yang terdampak.