Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan sebutan Generasi Y atau yang sekarang tenar dengan istilah Generasi Milenial. Generasi Milenial adalah kelompok demografis setelah Generasi X. Menurut teori generasi yang dipopulerkan oleh Neil Howe dan William Strauss, generasi dibagi menjadi beberapa generasi berdasarkan rentang waktu kelahiran dan kesamaan kejadian-kejadian historis.
Dari catatan para pakar demografi, Generasi Milenial adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1980 hingga 2000. Artinya, bisa dikatakan bahwa Generasi Milenial ialah generasi muda masa kini yang berusia antara 15-34 tahun. Generasi ini memiliki karakteristik yang tentunya berbeda dari generasi-generasi pendahulunya, yakni Generasi X dan Boomer. Generasi Milenial memiliki kecenderungan aktif berselancar di media sosial. Itu semata-mata karena platform media berbasis internet menemukan momentumnya dengan tumbuhnya kedewasaan bagi Generasi Milenial.
Kejadian historis, sosial, dan efek budaya bersama dengan faktor lain-lainnya akan berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku individu, nilai, dan kepribadian (Caspi & Roberts, 2001). Dengan berbedanya waktu dan zaman, maka bisa dilihat sebagai contoh dari segi attitude misalnya, Generasi Boomer memiliki attitude yang selalu optimistis. Berbeda dengan Generasi X yang ber-atttitude skeptis, dan lain lagi dengan Generasi Milenial yang begitu realistis.
Dalam konteks Indonesia, jumlah Generasi Milenial mencapai 34,45% dari total seluruh penduduk. Tentu jumlah tersebut bisa dibilang cukup besar. Dari generasi inilah, mereka lebih cenderung untuk menyampaikan segala gagasannya melalui media sosial dan intens dalam berkomunikasi dengan fasilitas internet.
Survei Alvara Research Center (2014) mengungkap bahwa generasi yang lebih muda usia rentang 15-24 tahun memiliki kecenderungan berbincang berkaitan dengan topik musik/film, olahraga, dan teknologi. Sementara, mereka yang berusia rentang 25 hingga 34 tahun lebih cenderung atraktif kepada isu-isu seputar sosial-politik, ekonomi, dan agama.
Bagi Generasi Milenial, internet adalah segalanya. Tanpa adanya koneksi ke internet, generasi ini tidak bisa apa-apa. Seolah dunia generasi ini terkekang oleh suatu limitasi tertentu, yang tidak lain limitasi itu ialah tanpa internet. Bagi generasi ini, sosial media menjadi sumber utama atau referensi untuk mengakses informasi hingga sebagai rujukan belajar.
Sekarang dengan mudahnya belajar bisa tanpa menggunakan buku dan tanpa bertatap langsung dengan sang guru. Pengetahuan-pengetahuan dapat diakses dengan cepat. Situs-situs belajar dan video dari para ahli dapat menjadi rujukan untuk belajar secara efektif. Sehingga di situlah rentan terjadi kesalahan berpikir, atau bahkan mudah terkena virus radikalisme dan fundamentalisme. Dengan demikian, revolusi media sosial menjadi pijakan bagi Generasi Milenial untuk akselerasi skill dan wawasan.
Padahal di sisi lain, dengan pesatnya perkembangan media sosial menimbulkan adanya ceruk kosong. Ceruk kosong inilah yang harus menjadi bahan renungan kita semua, khususnya Generasi Milenial itu sendiri. Ceruk kosong itu antara lain estafet meneguk pengetahuan ilmu agama, serta minimnya tabayyun atau kroscek. Belajar agama tanpa melalui kiai ataupun ustadz menjadi kurang komprehensif. Apalagi hanya belajar agama melalui media sosial yang tak jarang pemahaman yang didapat hanya setengah-setengah, tidak utuh dan mendalam.
Pada tahapan selanjutnya, dengan mudahnya penghakiman atau hujatan kepada para tokoh agama di media sosial hanya karena perbedaan sikap. Inilah yang sangat disayangkan, dan inilah wujud nyata dari gelapnya wajah media sosial. Sementara, fitnah yang membawa nama agama terus merajai dan membanjiri informasi yang merangsek di dunia media sosial kita.
Tanpa pemahaman literasi digital, kecerdasan bermedia, dan kejernihan berpikir orang akan dengan mudahnya membagi posting-an tanpa adanya filter terlebih dahulu. Asal informasi itu sedang viral, maka dengan gampangnya jempol menekan tombol share. Sekali lagi tanpa tabayyun terlebih dahulu. Inilah generasi tunggang-langgang yang terjungkal di tengah kemudahan bermedia.
Seyogianya agama menjadi referensi utama dan menjadi panduan moral bagi Generasi Milenial. Tak lain ialah agama yang mengajarkan kebaikan, bukan kebencian. Agama cinta, yang senantiasa menebarkan kasih sayang, bukan penyebar kekerasan dan fitnah. Agama yang membentangan Bhineka Tunggal Ika sebagai rahmat, bukan justru melibas persaudaraan dan kerukunan umat.
Sejatinya Generasi Milenial tidak hanya terpaku dan merasa keenakan hanya karena pesatnya arus informasi di media sosial. Generasi Milenial membutuhkan panduan dan tuntunan dari generasi sebelum-sebelumnya untuk menyelami hakikat dan kebenaran dari akar-akar pengetahuan agama dan kedalaman moral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)