Menonton film asing atau luar negeri manapun mungkin merupakan hal yang lumrah dan dapat dilakukan dengan bebas di berbagai negara. Namun, menonton film asing bisa membuat kehilangan nyawa jika dilakukan di Korea Utara (Korut).
Dilansir BBC, Senin (15/9/2025), Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing. Hal itu menjadi salah satu temuan laporan penting PBB.
Rezim kediktatoran Korut juga disebut makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka. Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut Korut telah memperketat kendali atas 'semua aspek kehidupan warga negara' selama satu dekade terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini," sebut laporan PBB.
Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan 'lebih meluas' sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, khawatir warga Korut akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama.
Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korut dalam 10 tahun terakhir, menemukan hukuman mati makin sering digunakan. Setidaknya, ada enam undang-undang baru yang diberlakukan sejak 2015 dan memungkinkan hukuman mati dijatuhkan di Korut.
Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena pemimpin Korut Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.
Warga Korut yang melarikan diri atau sering disebut penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing. Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.
Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan. Dia mengaku menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Dia menyebut temannya saat itu berusia 23 tahun.
"Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba," ujarnya.
Sebagai informasi, Kim Jong Un melarang penggunaan bahasa gaul, film asing, mengecat rambut dan memakai legging ketat. Melakukan salah satu di antaranya bisa dianggap pengkhianat dan terancam hukuman mati.
Kembali kepada Kang Gyuri, dia menambahkan sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut. Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.
Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik. Warga saat itu berharap kepada Kim yang berjanji mereka tidak perlu lagi 'mengencangkan ikat pinggang'. Mereka menganggap ucapan itu berarti warga Korut akan memiliki cukup makanan.
Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir. Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah "menurun".
Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah 'kemewahan' di Korut.
Selama pandemi COVID-19, banyak pelarian mengatakan terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan. Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.
Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.
"Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama," kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu. Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam 'brigade kejut' untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.
Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum. Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korut dilaporkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan 'dihilangkan'.
Laporan 2025 ini menemukan setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya. Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya 'beberapa perbaikan terbatas' di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk 'sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga'.
PBB telah menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.
Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara. Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing.
Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut. PBB sendiri telah meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.
"Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara)," kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.