Amerika Serikat telah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza. Washington menyebut resolusi itu akan membuat kelompok Hamas semakin berani.
Kelompok milisi Palestina itu mengutuk Washington sebagai "mitra dalam agresi terhadap rakyat kami."
"Itu adalah tindakan kriminal, membunuh anak-anak dan wanita, serta menghancurkan kehidupan warga sipil di Gaza," kata Hamas, dilansir kantor berita AFP, Kamis (21/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Resolusi DK PBB yang diveto AS tersebut menuntut "gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen" dalam perang antara Israel dan kelompok Palestina, bersama dengan "pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera."
Namun, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon mengatakan resolusi tersebut "bukanlah jalan menuju perdamaian, melainkan peta jalan menuju lebih banyak teror, lebih banyak penderitaan, dan lebih banyak pertumpahan darah.
"Banyak dari Anda mencoba untuk meloloskan ketidakadilan ini. Kami berterima kasih kepada Amerika Serikat karena telah menggunakan hak vetonya," ujarnya.
Robert Wood, Wakil Dubes AS untuk PBB, mengatakan bahwa posisi AS adalah tetap sama yakni harus "ada hubungan antara gencatan senjata dan pembebasan sandera."
Perang di Gaza terjadi menyusul serangan besar-besaran Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, sebuah serangan lintas batas yang mengakibatkan kematian 1.206 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka-angka resmi Israel.
Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, mengatakan jumlah korban tewas akibat perang tersebut sejauh ini telah mencapai 43.985 orang, sebagian besar warga sipil. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap angka tersebut dapat diandalkan.
Dari 251 sandera yang ditawan selama serangan 7 Oktober, 97 orang masih berada di Gaza, termasuk 34 orang yang menurut militer Israel telah tewas.
Hampir seluruh dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang ini, yang telah menyebabkan bencana kemanusiaan.
Sejak awal konflik Gaza, Dewan Keamanan PBB telah berjuang untuk berbicara dengan satu suara, seiring Amerika Serikat menggunakan hak vetonya beberapa kali, meskipun Rusia dan China juga melakukannya.