Pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden kembali menunda persetujuan izin penjualan untuk lebih dari 20.000 senapan buatan AS ke Israel. Apa alasan penundaan ini?
Seperti dilansir Al Arabiya, Kamis (14/12/2023), informasi soal penundaan itu disampaikan oleh dua pejabat AS, yang enggan disebut namanya, kepada outlet media Axios. Penundaan itu menyoroti kekhawatiran soal serangan yang marak dilakukan para pemukim ekstremis Israel terhadap warga sipil Palestina di Tepi Barat.
Laporan Axios menyebut bahwa kesepakatan penjualan senapan sedang ditinjau ulang oleh Departemen Luar Negeri AS, yang menggarisbawahi kekhawatiran soal upaya pemerintah Israel untuk mengatasi tindak kekerasan oleh para pemukim ekstremis Yahudi di Tepi Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah ini, menurut Axios, mengisyaratkan skeptisisme oleh Washington apakah Tel Aviv telah melakukan cukup upaya dan tindakan untuk mengatasi masalah itu.
Israel, pada hari-hari awal perang, meminta pasokan senapan yang dimaksudkan untuk tim respons cepat sipil yang dikerahkan di desa-desa dekat perbatasan wilayahnya dengan Jalur Gaza, Lebanon, dan Suriah.
Tim respons cepat yang terdiri atas warga sipil yang menerima pelatihan dan senjata dari Kepolisian Israel itu dimaksudkan untuk bertindak sebagai petugas respons pertama jika terjadi serangan teror. Langkah ini diambil menyusul serangan mengejutkan Hamas terhadap Israel bagian selatan pada 7 Oktober lalu.
Para pejabat Israel menyebut sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, tewas akibat serangan Hamas, dengan lebih dari 240 orang lainnya disandera.
Serangan Hamas itu memicu gempuran tanpa henti Israel terhadap Jalur Gaza, yang sejauh ini menurut otoritas kesehatan setempat, telah menewaskan lebih dari 18.400 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak.
Simak Video 'Lawan Sikap AS, Ini 153 Negara yang Desak Gencatan Senjata di Gaza':
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
Laporan Axios menyebut AS menanggapi permintaan Israel itu secara hati-hati karena adanya kekhawatiran bahwa Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang mengawasi kepolisian Israel, mungkin mendistribusikan senapan-senapan itu kepada para pemukim ekstremis Yahudi di wilayah Tepi Barat.
Persetujuan izin ekspor dari perusahaan pertahanan AS, sebut Axios dalam laporannya, hanya diberikan setelah ada jaminan bahwa persenjataan itu tidak akan jatuh ke tangan tim respons cepat sipil di area permukiman Yahudi.
Namun beberapa pekan setelah persetujuan diberikan, Departemen Luar Negeri AS memulai peninjauan baru terhadap izin tersebut, dengan alasan kekhawatiran soal tindak kekerasan oleh para pemukim Yahudi dan persepsi pemerintah Israel tidak mengatasi persoalan itu dengan baik.
Menurut laporan Axios, keputusan menunda penjualan senapan itu diambil setelah pemerintahan Biden merasa khawatir dengan laporan media-media Israel yang mengungkap dokumen rahasia komandan komando pusat Angkatan Bersenjata Israel (IDF).
Dokumen itu mengklaim Ben Gvir telah menginstruksikan para personel Kepolisian Israel untuk tidak menangkap para pemukim yang melakukan kekerasan di wilayah Tepi Barat.
"Kesepakatan ini tidak bergerak ke mana-mana saat ini. Kami memerlukan jaminan lebih besar dari Israel soal langkah-langkah yang akan diambil untuk membatasi serangan oleh para pemukim dan untuk memastikan tidak ada senjata baru AS yang menjangkau para pemukim di Tepi Barat," ucap seorang pejabat AS kepada Axios.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menahan diri untuk tidak memberikan detail soal kesepakatan tersebut. "Kami dilarang mengkonfirmasi atau mengomentari secara terbuka soal rincian mengenai kegiatan perizinan penjualan pertahanan komersial langsung," ucapnya.
Baru-baru ini, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan penjatuhan sanksi terhadap belasan pemukim Israel yang dicurigai terlibat dalam serangan terhadap warga sipil Palestina. Sanksi itu melarang mereka bepergian ke AS, yang menandai pertama kalinya Washington menjatuhkan sanksi terhadap pemukim ekstremis sejak pemerintahan Presiden Bill Clinton.