Keputusan Rusia menarik diri dari perjanjian pengendalian senjata nuklir dengan Amerika Serikat (AS) dinilai menjadi pukulan bagi upaya membatasi pasokan nuklir. Namun demikian, langkah Moskow itu juga dinilai tidak serta-merta akan meningkatkan risiko perang nuklir.
Seperti dilansir AFP, Rabu (22/2/2023), para pakar menilai keputusan Presiden Vladimir Putin menangguhkan kerja sama di bawah perjanjian New START haruslah dipahami sebagai upaya lainnya untuk menekan negara-negara Barat yang terus memasok persenjataan dan dana ke Ukraina yang melawan invasi Rusia.
Mantan Presiden AS Barack Obama menandatangani perjanjian itu tahun 2010 lalu bersama Presiden Rusia saat itu, Dmitry Medvedev. Washington melihat perjanjian itu sebagai bagian dari pengaturan ulang yang lebih bersahabat dengan Kremlin.
Setelah diperbarui tahun 2021, perjanjian itu ditetapkan akan berlaku hingga tahun 2026.
Perjanjian itu mengatur AS dan Rusia untuk membatasi pasokan nuklir hingga maksimum masing-masing 1.550 hulu ledak strategis ofensif. Angka itu merupakan pemotongan sebesar 30 persen dari batasan yang sebelumnya ditetapkan tahun 2002 lalu.
Pembatasan juga berlaku untuk peluncur dan pengebom nuklir, yakni masing-masing maksimum 800 unit -- yang masih cukup untuk meledakkan dunia berkali-kali.
Dalam pidato kenegaraan di hadapan elite politik Rusia pada Selasa (21/2) waktu setempat, Putin menyatakan Rusia menarik diri dari perjanjian itu, namun tidak sepenuhnya menghancurkan perjanjian itu.
"New START tidak mati, tapi dalam keadaan koma yang diinduksi," sebut Emmanuelle Maitre yang merupakan peneliti pada Yayasan untuk Riset Strategis, sebuah think-tank di Paris, Prancis.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan Video 'Putin Tangguhkan Rusia dari Perjanjian Nuklir dengan AS':
(nvc/ita)