INTERMESO

Menyusuri Jakarta dari Atap Bus

Naik bus tingkat wisata di Jakarta membuatku melihat kota ini dari sudut yang sama sekali berbeda

Menikmati suasana Jakarta dari atas bus wisata atap terbuka.

Foto : Khatibul Azizy Alfairuz/detikcom

Minggu, 14 Desember 2025

Sudah belasan tahun aku tinggal di Jakarta, mondar-mandir di ruas jalan yang sama, terjebak macet yang sama, seolah menghafal ritme kota ini seperti denyut nadi sendiri. Aku kira, aku sudah sangat mengenal Jakarta. Sampai suatu sore, aku naik bus tingkat wisata bernama Open Top Tour of Jakarta, di situlah aku sadar, aku sudah salah mengira.

Hujan turun deras tepat pukul empat sore. Langit menggelap lebih cepat dari biasanya, seperti sengaja menguji nyali kami yang sudah berkumpul di meeting point Pos Bloc. Di bawah kanopi, sebagian orang saling pandang, ragu. Teddy Rahmat Senjaya, tour guide kami sore itu, angkat suara dengan nada ramah namun realistis. Ia menyarankan siapa pun yang tak ingin kehujanan untuk menjadwal ulang di hari berbeda. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Tak ada satu pun yang mundur, payung dibuka, jas hujan pun dikenakan. Antusiasme peserta mengalahkan cuaca Jakarta yang belakangan kerap diguyur hujan.

Open Top Tour of Jakarta adalah program baru Pemerintah Provinsi DKJ Jakarta yang dioperasikan oleh Transjakarta. tur ini menawarkan dua rute utama, yaitu Jakarta Heritage dan Jakarta Skyline. Aku ikut keduanya dalam satu hari, keputusan itu membuatku menyusuri Jakarta dari cahaya senja hingga lampu malamnya.

Rute pertama yang kuikuti adalah Jakarta Heritage. Bus ini memiliki dua lantai, dan meski hujan, hampir semua peserta memilih berdiri di bagian terbuka lantai atas. Kami dibekali silent headphone, dan ditemani dua pemandu, Teddy Rahmat Senjaya dan Ahmad Ferdiansyah. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian bercerita tentang gedung, monumen, dan detail-detail kecil yang selama ini luput dari pandangan.

Rute Jakarta Heritage mengajak penumpang menyusuri wajah lama Jakarta, bagian kota yang menjadi saksi lahirnya ibu kota dan perjalanan panjang republik ini. Bus berangkat dari kawasan Pos Bloc, tepat di depan Gedung Filateli Jakarta, bangunan peninggalan era kolonial yang dulu berfungsi sebagai kantor pos dan kini menjadi ruang kreatif publik. Dari titik ini, perjalanan dimulai perlahan, seolah memberi waktu bagi penumpang untuk beradaptasi dengan ritme Jakarta yang berbeda.

Suasana perjalanan bus wisata atap terbuka di kawasan pusat Jakarta
Foto : Khatibul Azizy Alfairuz

Bus kemudian melaju melewati kawasan Pasar Baru, salah satu pusat perdagangan tertua di Jakarta yang sejak dulu menjadi tempat bertemunya berbagai etnis. Perjalanan berlanjut ke Lapangan Banteng, ruang terbuka hijau yang dulu dikenal sebagai Waterlooplein pada masa kolonial. Dari atas bus, penumpang bisa melihat Monumen Pembebasan Irian Barat yang berdiri tegak, simbol perjuangan diplomasi dan politik Indonesia di masa awal kemerdekaan. Tak lama berselang, bus memasuki kawasan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, dua rumah ibadah yang berdiri saling berhadapan dan kerap disebut sebagai simbol toleransi beragama di Indonesia.

Selama ini aku tahu keduanya simbol toleransi. Tapi baru sore itu aku tahu bahwa arsitek Masjid Istiqlal, Frederich Silaban, justru beragama Kristen Protestan. Teddy bercerita bagaimana Silaban mempelajari Islam secara mendalam sebelum merancang masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Lima lantai Istiqlal pun bukan sekadar struktur, melainkan simbol lima rukun Islam.

Di sampingku berdiri Viona, perempuan 29 tahun, perantau asal Padang yang sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Ia datang sendiri untuk menikmati quality time. “Bagian Istiqlal dan Katedral itu yang paling berkesan,” katanya padaku. “Kita tahu mereka berdampingan, tapi ternyata sejarahnya sedalam itu. Dari sini kelihatan banget kalau Indonesia itu persatuannya kuat, meski berbeda-beda.”

Dari sana, bus menyusuri kawasan Istana Negara dan Istana Merdeka. Bus terus melaju, melewati Monas. Hujan belum reda, tapi semangat justru memuncak ketika bus berhenti sejenak. Kami diberi waktu beberapa menit untuk turun, berfoto dengan latar Tugu Monas yang basah dan berkilau. Teddy berkali-kali mengingatkan kami untuk berhati-hati. Bus tinggi, jalan licin, pegangan wajib erat. Pesertanya banyak sekali sore itu, dan tak satu pun terlihat kehilangan senyum.

Di Jalan Veteran, Hani, warga Jakarta Barat, menunjuk sebuah gedung yang kami lewati. “Aku baru tahu ternyata itu dulunya kantor Wakil Presiden yang mendampingi Pak Harto,” katanya. “Terus sekarang jadi Sekretariat Wakil Presiden. Kalau nggak ikut tur ini, mungkin aku nggak pernah kepikiran buat cari tahu.” Hani tahu tur ini dari TikTok, ikut secara dadakan, dan mengaku terkejut karena pengalaman naik bus tingkat ternyata seseru ini meski basah-basahan.

Peserta open top tour mengabadikan momen dengan latar Monumen Nasional
Foto : Khatibul Azizy Alfairuz

Kami juga melewati Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Di tengah hujan deras, para peserta aksi tetap berdiri, memegang payung dan poster. Teddy menjelaskan singkat tentang Aksi Kamisan, aksi diam yang sudah berlangsung bertahun-tahun untuk menuntut keadilan atas pelanggaran HAM.

Perjalanan 45 menit itu terasa singkat. Teddy melempar kuis dadakan di tengah jalan. Pertanyaan sederhana tapi menjebak. Berapa jumlah patung kuda Arjuna Wijaya di Jakarta? Delapan. Yang berhasil menjawab diberi stiker lucu bergambar bus dan ikon Jakarta. “Ekspresi mereka para peserta itu yang paling menarik,” kata Teddy. “Orang Jakarta sendiri sering kaget, ternyata banyak yang belum mereka tahu tentang kota ini.”

Saat bus berhenti di lampu merah, penumpang melambaikan tangan ke warga di trotoar. Mereka membalas, tertawa. Sebuah interaksi kecil yang menghangatkan di tengah dinginnya hujan. Malamnya, aku melanjutkan ke rute Jakarta Skyline dengan meeting point di Ratu Plaza pukul 19.00. Hujan sore menyisakan kemacetan parah. aku hampir terlambat, bus nyaris berangkat. Beruntung, tour guide masih mengizinkan kami naik. Dari atap bus, Jakarta malam hari terbentang megah. Gedung-gedung pencakar langit menyala, kontras dengan kendaraan di bawah yang merayap pelan.

Di sinilah Jakarta terasa lebih hidup. Kami melewati kawasan Karet, yang dulu merupakan area perkebunan karet. Nama Karet Tengsin berasal dari Tan Tengsien, saudagar Tionghoa dermawan yang memiliki kebun karet dan tinggal di kawasan itu sekitar tahun 1890. Cerita-cerita seperti ini mengalir ringan di telinga, membuat gedung dan jalanan terasa hidup.

Bus melambat saat memasuki kolong Jembatan Semanggi. Kami yang berdiri di area terbuka diminta menunduk. Jaraknya begitu dekat, nyaris menyentuh ‘perut’ jembatan. Para tour guide dengan sigap mengingatkan agar tak memegang dinding karena bisa saja ada paku. Tapi justru di situ, teriakan seru terdengar. Setiap kali harus menunduk, entah karena bus melewati jembatan, karena ranting pohon, peserta bersorak, “Woooooo!” Nuansanya seperti sedang menumpangi wahana permainan.

Warga mencoba pengalaman berkeliling kota dengan bus tingkat wisata
Foto : Khatibul Azizy Alfairuz

Dari headphone lalu tour guide bercerita tentang filosofi Jembatan Semanggi. Dibangun pada 1961–1962 atas usulan Ir. Soetami dan disetujui Presiden Soekarno, jembatan ini dirancang menyerupai daun semanggi. Bentuknya melambangkan persatuan suku-suku bangsa di Indonesia. Bahkan, motif daun semanggi itu digambarkan di dinding-dinding jembatan, detail yang sering luput dari pandangan saat kita melintas terburu-buru.

Di sepanjang Sudirman, gedung-gedung tinggi berdiri seperti etalase ambisi kota. Ada Two Sudirman yang masih dibangun di kawasan Benhil, kelak menjadi gedung tertinggi kedua di Indonesia dengan tinggi 331 meter. Namanya bukan karena menara kembar, melainkan karena lokasinya di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 2. Ada Menara Astra, dengan siluet pendirinya, William Soeryadjaya, yang bisa dilihat di kaca-kaca gedung menghadap jalan. Ada pula Autograph Tower di kawasan Thamrin Nine, gedung tertinggi di Indonesia dan belahan selatan khatulistiwa, setinggi sekitar 385 meter, dengan fasilitas ayunan tertinggi dan lantai kaca yang langsung menghadap Jalan Sudirman.

Yang paling membekas bagiku adalah saat bus melaju pelan di dekat Patung Jenderal Sudirman. Jaraknya tak sampai satu meter. Dari atas bus, aku bisa mengamati detail wajah dan seragamnya dengan jelas. Sebuah pengalaman yang tak mungkin kudapat dari trotoar atau balik kaca mobil.

Di telinga, suara pemandu mengalir pelan, bercerita bahwa tongkat yang digenggam Sudirman bukan sekadar simbol kepemimpinan, melainkan penopang tubuhnya yang rapuh karena sakit. Ia memimpin perang dalam kondisi paru-paru yang terus melemah, dan wafat di usia yang sangat muda, bukan karena kalah di medan tempur, melainkan karena tubuhnya yang tak lagi sanggup menanggung perjuangan panjang.

Cerita itu berlanjut pada fakta yang membuat kami saling pandang. Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI, saat usianya baru 24 tahun. Tour guide lalu melempar candaan, “Sekarang kita di usia 24 tahun sudah jadi apa?” Tawa pun pecah di atas bus.

Peserta malam itu semakin ramai. Aku bertemu rombongan dari Banyuwangi, Malang, Pekanbaru, Surabaya, hingga Palembang. Biasanya turis asing, terutama dari Malaysia juga sering ikut. Empat puluh lima menit berlalu tanpa terasa. Bus kembali ke Ratu Plaza menandakan berakhirnya tur malam itu.

Untuk ikut Open Top Tour of Jakarta, tiket harus dipesan lewat aplikasi TJ:Transjakarta atau Tije mulai H-7 keberangkatan. Jumlahnya terbatas, hanya sekitar 30 tiket per trip, dan dibuka tengah malam, siap-siap war tiket. Saat ini tarif tiketnya Rp50 ribu dalam masa uji coba, masih terasa ramah di kantong untuk pengalaman yang mengesankan. Sementara untuk wisatawan asing, tersedia opsi on the spot dengan harga lebih tinggi.


Reporter: Khatibul Azizy Alfairuz

Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz, Melisa Mailoa

Editor: Irwan Nugroho

Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE