Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) memulai latihan udara gabungan pada awal pekan ini. Latihan gabungan ini digelar di tengah ketegangan akibat uji coba rudal terbaru Korea Utara (Korut) dan seruan dimulainya kembali perundingan denuklirisasi.
Seperti dilansir Reuters, Senin (1/11/2021), latihan gabungan itu diungkapkan seorang pejabat militer di Seoul, yang enggan disebut namanya.
Korsel dan AS yang saling bersekutu itu disebut telah memulai latihan gabungan tersebut, yang akan berlangsung selama lima hari, tanpa mengumumkannya secara resmi atau menyebut namanya ke publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan kantor berita Yonhap News Agency menyebut sekitar 100 pesawat dikerahkan oleh masing-masing negara, termasuk jet tempur F-15K dan KF-16 milik Korsel dan jet tempur F-16 milik AS. Namun tidak ada perlengkapan militer maupun tentara dari AS yang ikut dalam latihan gabungan itu.
Juru bicara Angkatan Udara Korsel menolak untuk menanggapi laporan tersebut.
Latihan militer gabungan semacam itu, yang sebelumnya disebut sebagai 'Vigilant Ace', biasanya diikuti puluhan ribu tentara dan ratusan jet tempur mutakhir, pesawat pengebom dan pesawat-pesawat militer lainnya.
Namun program itu dikurangi sejak tahun 2017 untuk memfasilitasi perundingan yang bertujuan mengakhiri program nuklir dan rudal Korut, dengan imbalan pencabutan sanksi-sanksi AS.
Latihan udara gabungan antara Korsel dan AS ini digelar setelah Korut menembakkan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam, yang menjadi uji coba terbaru oleh rezim komunis itu.
Korut diketahui memandang latihan militer di Korsel sebagai latihan perang, dan memutuskan saluran hotline antara kedua Korea ketika kedua negara sekutu itu menggelar latihan militer pada Agustus lalu. Korut saat itu menuduh Korsel melakukan 'perilaku durhaka'.
Utusan AS untuk Korut, Sung Kim, mengecam uji coba terbaru Korut sebagai 'mengkhawatirkan dan kontraproduktif' dalam kunjungannya ke Seoul, pekan lalu, dan mendorong Pyongyang untuk menerima tawaran berunding.
Korut sejauh ini menolak tawaran AS, dan menuduh AS juga Korsel menerapkan 'standar ganda' dengan mengkritik program persenjataannya sambil berbicara soal diplomasi dan memicu ketegangan dengan aktivitas militer mereka sendiri.