Menurut Program Pangan Dunia (WFP), harga minyak sawit telah meningkat 20 persen di Yangon sejak kudeta, kemudian beras juga meningkat lebih dari 30 persen di beberapa bagian negara bagian Kachin.
Surat kabar Myawaddy mengatakan harga bahan bakar minyak di Yangon naik hampir 50 persen pada Maret lalu. Lebih lanjut, produk seperti bahan bangunan, peralatan medis, dan barang konsumsi, yang biasanya diimpor dari China, mulai habis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengusaha China tidak lagi ingin mengekspor karena penduduk Myanmar memboikot produk mereka, menuduh China mendukung junta," kata Htwe Htwe Thein, seorang profesor bisnis internasional di Curtin University, Australia.
Meskipun terjadi gejolak ekonomi, junta masih menutup telinga terhadap permohonan para pengunjuk rasa.
Amnesty Internasional mengatakan bahwa junta masih dapat mengandalkan pendapatan berkat konglomerat kuat yang dikendalikannya, aktif di berbagai sektor seperti transportasi, pariwisata, dan perbankan, dan telah memberi militer Myanmar miliaran dolar sejak 1990an.
Amerika Serikat dan Inggris telah memberikan sanksi kepada militer, namun banyak negara yang berbisnis dengan mereka menolak untuk melakukannya.
"Junta juga mendapat keuntungan dari sumber daya informal, salah satunya dari sumber daya alam ilegal, seperti batu giok dan kayu", kata Htwe Htwe Thein.
(izt/imk)