Dukungan dari Rusia dan China, yang juga menahan diri untuk mengkritik, penting bagi junta militer Myanmar karena mereka anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bisa memblokir potensi tindakan PBB.
Kunjungan Fomin ke Myanmar ini dilakukan setelah Amerika Serikat (AS), Inggris dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap pejabat dan perusahaan Myanmar terkait kudeta. Dalam video yang dirilis Zvezda TV yang dikelola Kementerian Luar Negeri Rusia, Fomin terlihat berjabat tangan dan menerima medali serta pedang seremonial dari Min Aung Hlaing di ruang pertemuan yang dipenuhi perwira militer berseragam hijau.
"Anda, Jenderal Senior yang terhormat, ambil bagian dalam parade kami tahun lalu, parade kami memperingati 75 tahun kemenangan dalam Perang Patriotik Hebat. Dan kunjungan kami ini -- ini adalah respons untuk kunjungan Anda," ucap Fomin merujuk pada Perang Dunia II seperti dikutip kantor berita TASS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, laporan terbaru yang didasarkan pada portal berita lokal Myanmar Now dan keterangan saksi mata menyebut sedikitnya 50 orang tewas dalam unjuk rasa di berbagai wilayah sepanjang Sabtu (27/3) waktu setempat. Reuters belum bisa memverifikasi secara independen angka ini.
Juru bicara CRPH, kelompok anti-junta militer yang dibentuk para anggota parlemen Myanmar yang dilengserkan, Dr Sasa menyebut hari Sabtu (27/3) merupakan 'hari memalukan' bagi militer Myanmar. "Hari ini merupakan hari yang memalukan bagi angkatan bersenjata," sebut Dr Sasa kepada sebuah forum online.
Menurut kelompok advokasi non-profit bernama Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sedikitnya 328 orang tewas dalam berbagai unjuk rasa di Myanmar sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
(nvc/idh)