Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, berkali-kali menyatakan bahwa RUU ekstradisi telah 'mati' dan menyatakan tuntutan lainnya, seperti hak pilih universal dan amnesti untuk demonstran yang ditangkap dalam bentrokan, ada di luar kendalinya. Demonstran Hong Kong terus menyerukan agar Lam mundur dari jabatannya dan agar penyelidikan independen dilakukan terhadap kebrutalan polisi saat menangani unjuk rasa yang seringkali berujung bentrokan sengit.
"Tidak ada perbedaan besar antara penangguhan dan pencabutan (RUU ekstradisi)... Itu sedikit terlambat," ucap salah satu demonstran Hong Kong, Connie (27), beberapa jam sebelum RUU ekstradisi dibatalkan atau dicabut secara resmi oleh parlemen atau Dewan Legislatif Hong Kong.
"Masih ada tuntutan-tuntutan lainnya yang harus dipenuhi pemerintah, khususnya terkait kebrutalan polisi," tegasnya. Selama ini, Kepolisian Hong Kong diketahui mengatasi aksi anarkis demonstran dengan menggunakan meriam air, gas air mata, peluru karet dan beberapa peluru tajam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstran marah pada apa yang dipandang sebagai aksi China daratan melanggar formula 'satu negara, dua sistem' yang diberlakukan terhadap Hong Kong. Formula itu mengizinkan warga Hong Kong memiliki berbagai kebebasan, termasuk peradilan independen, yang tidak ada di China daratan.
RUU ekstradisi yang diprotes demonstran Hong Kong, mengizinkan setiap terdakwa dalam kasus kejahatan serius untuk dikirimkan ke luar negeri untuk diadili. Salah satunya bisa dikirim ke China, yang sistem peradilan dan pengadilannya dikuasai Partai Komunis. RUU itu dipandang sebagai langkah China untuk mengikis kebebasan di Hong Kong. Otoritas China telah menyangkal tuduhan ini dan menuding negara-negara asing membangkitkan perlawanan di Hong Kong.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini