Saat itu dia diwakili oleh anaknya, Alexander. Barulah 21 tahun kemudian, tepatnya 16 Juni 2012, Aung San Suu Kyi bisa hadir sendiri ke Oslo, Norwegia untuk berpidato terkait anugerah nobel perdamaian yang diterimanya. Di Oslo, kehadiran perempuan yang lahir Yangon, Myanmar 19 Juni 1945 itu sangat dinanti-nantikan.
Ketua Komite Nobel Perdamaian Norwegia Thorbjorn Jagland menyambut kedatangan Aung San Suu Kyi di Bandara. Sesaat setelah tiba di hotel, dia juga bertemu dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg.
"Masyarakat (Norwegia) telah sangat lama menantikan kunjungan ini. Sejak Anda dianugerahi penghargaan ini (nobel) kami sangat menantikan momen ini," kata Stoltenberg ketika itu seperti dilansir dari The Guardian.
Pernyataan yang sama disampaikan oleh Thorbjorn Jagland ketika membuka acara pidato nobel perdamaian Aung San Suu Kyi di Balai Kota Oslo. Dia juga memuji Suu Kyi yang tetap menjadi perwakilan suara moral bagi dunia.
"Di dalam masa tahananmu, Anda menjadi suara moral bagi seluruh dunia," puji Jagland.
Aung San Suu Kyi kemudian dipersilakan memberikan pidato di podium. Standing Ovation diberikan saat sang penerima nobel naik ke mimbar. Selama 53 detik hadirin memberikan tepuk tangan untuk Suu Kyi.
"Hari-hari selama menjadi tahanan rumah seringkali saya merasa seolah-olah bukan lagi bagian dari dunia nyata. Nobel perdamaian membuat saya nyata sekali lagi telah membawa ke komunitas manusia yang lebih luas," katanya ketika itu.
Dia meminta dunia untuk tidak melupakan orang-orang yang menderita kelaparan, penyakit, pemindahan, pengangguran, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, prasangka dan perang.
"Di mana pun penderitaan diabaikan, akan ada benih konflik," begitu kata kata Suu Kyi.
Menurut dia, dunia harus bebas dari orang-orang terlantar, tunawisma dan orang-orang tak berdaya. "Sebuah dunia di mana setiap sudut adalah tempat perlindungan yang sebenarnya di mana penduduk akan memiliki kebebasan dan kemampuan untuk hidup dalam damai."
Sejak berpidato di Oslo hingga menjadi Penasihat Negara karena partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpinnya memenangi Pemilu, Myanmar masih memperlakukan etnis Rohingnya secara tak adil. Mereka dipaksa tinggal di kamp-kamp pengungsian selama bertahun-tahun.
Pada 25 Agustus para pejuang dari kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army/ARSA) menyerang 30 kantor polisi di sebuah pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine.
Akibat serangan tersebut, tulis The Washington Post, sedikitnya 110 orang tewas termasuk 10 polisi dan militan ARSA. Insiden tersebut memicu aksi balasan yang sangat keras dari militer Myanmar. Sejumlah saksi mata menyebut tentara Myanmar membakar desa-desa yang menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Mereka menggunakan peralatan seadanya saat pergi mengungsi. Pihak berwenang Bangladesh melaporkan ada tiga kapal pembawa pengungsi Rohingya yang terbalik. Mereka menemukan 26 mayat wanita dan anak-anak.
Hingga hari ini gelombang pengungsian ribuan warga Rohingya terus berlanjut. Aung San Suu Kyi yang kini duduk di lingkaran kekuasaan belum memberikan pernyataan seperti ketika dia pidato di Oslo, lima tahun lalu.
Dunia pun mengkritik penerima nobel perdamaian yang seolah bisu, tuli, dan buta dengan nestapa yang dialami warga Rohingya di Myanmar.
![]() |
(erd/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini