Thailand dan Kamboja mungkin tidak lagi saling serang setelah bentrokan mematikan di perbatasan bulan lalu, tetapi ketegangan antara kedua jiran Asia Tenggara itu enggan mereda.
Pertempuran lintas batas selama lima hari pada Juli, yang melibatkan pasukan darat, artileri, dan jet tempur, menewaskan sedikitnya 43 orang dan memaksa lebih dari 300.000 warga sipil mengungsi.
Kedua pihak menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh Malaysia, Cina, dan Amerika Serikat. Perjanjian damai itu mulai berlaku pada 29 Juli.
Sejak itu, Thailand dan Kamboja saling tuduh melakukan pelanggaran gencatan senjata. Namun kedua negara menyatakan tetap berkomitmen untuk mempertahankan perjanjian damai.
"Tidak bisa diterima"
Kedua negara memiliki sengketa perbatasan yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Pertempuran pada Juli dipicu oleh klaim Thailand bahwa Kamboja menanam ranjau darat yang melukai tentaranya.
Bahkan setelah gencatan senjata, ranjau darat tetap menjadi titik pertikaian besar. Otoritas Thailand menuduh Kamboja terus menanam bahan peledak di kawasan perbatasan.
"Dalam waktu kurang dari sebulan, sudah ada lima insiden ledakan ranjau yang menyebabkan korban parah pada tentara kami. Lima orang di antaranya kehilangan kaki. Ini tidak bisa diterima," kata Menteri Luar Negeri Thailand, Maris Sangiampongsa, dalam konferensi pers di Ubon Ratchatani, dekat perbatasan Kamboja, pada 16 Agustus.
Militer dan Kementerian Luar Negeri Thailand bahkan mengatur kunjungan untuk media asing, termasuk DW, guna memperlihatkan bukti yang mendukung tuduhan mereka.
Otoritas Thailand menyatakan bulan ini telah menemukan lebih dari selusin ranjau jenis PMN-2 yang baru dipasang di wilayah mereka yang berbatasan dengan Kamboja.
"Bagi rakyat Thailand, ranjau darat itu benar-benar kejam. Kadang ranjau tidak membunuh, tapi memutus kaki sehingga membuat seseorang menderita seumur hidup," kata Kapten Pakapron Sawangpiean dari militer Thailand kepada DW.
Tentara dari kedua pihak terancam
Sersan Tanee Paha, seorang prajurit Thailand, kehilangan kakinya setelah menginjak ranjau.
Dia adalah komandan unit senapan mesin yang bertugas di garis depan konflik.
"Pada hari ketika saya menginjak ranjau, kami sedang berpatroli mencari lokasi untuk memasang kawat berduri sebagai jalur patroli baru. Saya menginjak ranjau itu dan meledak. Dua orang anggota saya juga terluka," ujarnya.
Kini, pria berpangkat sersan itu sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Ubon Ratchatani.
"Menanam ranjau di jalur patroli tidak bisa diterima karena tentara dari kedua pihak sama-sama berpatroli di rute itu," tambahnya.
Mark S. Cogan, profesor studi perdamaian dan konflik di Universitas Kansai Gaidai, Jepang, mengatakan kedua negara perlu bersikap transparan.
"Masalahnya adalah komunikasi, sesuai dengan kesepakatan yang ditulis, di mana masing-masing negara harus melapor ke Komite Perbatasan Regional Thailand-Kamboja. Bahayanya, pertemuan terakhir justru menjadi ajang saling menyalahkan," tegasnya.
Kekhawatiran warga di perbatasan
Pertempuran Juli lalu memaksa ratusan ribu warga di kawasan perbatasan mengungsi.
Banyak warga desa Thailand masih diliputi kekhawatiran.
Boon Thongleung dan keluarganya masih bertahan di pusat evakuasi darurat karena ancaman ranjau darat.
"Karena ranjau, kami tidak bisa mencari makan," katanya.
"Bahkan kalau konflik ini berakhir, butuh satu hingga dua bulan untuk membersihkan ranjau. Itu artinya kami tidak bisa mencari hasil hutan untuk dijual. Bahkan jika ranjau sudah dibersihkan, kami tidak bisa yakin benar-benar aman untuk kembali," ujar Thongleung kepada DW.
Menteri Luar Negeri Maris pekan ini berada di Jenewa untuk melobi komunitas internasional agar menekan Kamboja dalam isu ranjau darat.
Baik Thailand maupun Kamboja sama-sama menjadi pihak dalam Konvensi Ottawa, yang mulai berlaku pada 1999 dan melarang produksi serta penggunaan ranjau antipersonel.
Kamboja tolak tuduhan Thailand
Kamboja, di sisi lain, membantah tuduhan dari negeri jiran.
"Kamboja menolak klaim Thailand bahwa ada ranjau baru yang ditanam," kata Ou Virak, direktur Future Forum, lembaga think-tank berbasis di Phnom Penh yang fokus pada kebijakan publik.
Dia mengatakan kepada DW bahwa sebagian besar masyarakat Kamboja percaya dan mendukung pemerintah mereka dalam isu ini.
"Orang Kamboja umumnya tidak meragukan alasan atau klaim pemerintah. Kebanyakan percaya pada posisi pemerintah. Saya rasa ini tidak akan berpengaruh pada negara, kecuali jika terjadi pertempuran baru," tambahnya.
Kementerian Pertahanan Kamboja tidak memberikan tanggapan atas permintaan komentar DW mengenai klaim Thailand tersebut.
Ranjau jadi hambatan besar
Tita Sanglee, peneliti di ISEAS–Yusof Ishak Institute, mengatakan isu ranjau darat adalah "hambatan besar bagi upaya perdamaian."
"Dari perspektif Thailand, fakta bahwa tentara mereka masih terluka akibat ranjau setelah gencatan senjata memberi sinyal ketidak-tulusan di pihak Kamboja," ujarnya kepada DW.
"Ranjau itu tampak dalam kondisi siap pakai, yang melemahkan klaim Kamboja bahwa ranjau itu sudah puluhan tahun dan usang. Setiap korban baru dari pihak Thailand menambah frustrasi domestik dan memberi tekanan pada militer untuk merespons," lanjutnya.
Sementara itu, Kamboja berargumen bahwa ranjau berada di dalam wilayah mereka, sehingga tentara Thailand tidak akan terluka jika tidak melanggar batas, kata Sanglee.
"Itu mencerminkan adanya sudut pandang soal kedaulatan dan kompleksitas demarkasi perbatasan yang, secara objektif, memang masih disengketakan," ujarnya.
"Tapi bisa dimengerti, dari perspektif Kamboja sebagai negara lebih kecil dan lemah secara militer, ladang ranjau berfungsi sebagai penangkal taktis terhadap pergerakan pasukan Thailand."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid
Simak juga Video: Ribuan Biksu Gelar Aksi Damai Minta Thailand-Kamboja Gencatan Senjata
(ita/ita)