Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng menilai penerbitan obligasi daerah merupakan kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan pembiayaan pembangunan di daerah. Menurutnya, konsep obligasi daerah bukan hal baru, namun selama lebih dari dua dekade belum memiliki kerangka regulasi yang kuat sehingga tidak berjalan optimal.
"Saya pernah menyelenggarakan seminar nasional tentang obligasi daerah pada tahun 1999. Namun waktu itu momentumnya belum tepat sehingga tidak ada tindak lanjut. Sekarang sudah hampir 25 tahun," ujar Melchias Mekeng, saat menyampaikan materi dalam acara Sarasehan Nasional MPR RI, di Yogyakarta, dikutip Senin (24/11/2025).
Kegiatan yang mengambil tema sentral 'Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Daerah dan Instrumen Investasi Publik' ini dihadiri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, Sekretaris F-PG MPR Ferdiansyah, Bendahara F-PG MPR Adde Rosi Khoerunnisa, Anggota Dewan Komisioner OJK Inarno Djajadi, serta akademisi UMY Prof. Dr. Imamudin Yuliadi. Hadir pula Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah, Kabiro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI Anies Mayangsari Muninggar, para kepala daerah se-DIY, pimpinan perguruan tinggi, civitas academica, BEM kampus, serta pengurus HIPMI DIY.
Ketua Badan Penganggaran MPR RI ini menjelaskan obligasi daerah merupakan instrumen pinjaman jangka menengah atau panjang yang bersumber dari masyarakat. Di tingkat nasional, instrumen serupa diwujudkan dalam Surat Utang Negara (SUN). Mekeng menilai keberhasilan SUN, yang saat ini mencapai outstanding mendekati Rp1.000 triliun, disebabkan adanya payung hukum yang jelas, yakni UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
"Setelah ada undang-undang, SUN menjadi instrumen investasi yang diminati. Bahkan sudah turunannya menjadi ORI yang bisa dibeli masyarakat umum," ujarnya.
Mekeng menegaskan bahwa penerbitan obligasi daerah memiliki landasan konstitusional, antara lain Pasal 18 Ayat (2) serta Pasal 18A Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Ia menyebut sejumlah regulasi sektoral telah ada, mulai dari UU Keuangan Negara, UU Pasar Modal, hingga UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun, belum cukup untuk membuat obligasi daerah menarik bagi investor.
"Daerah bisa saja menerbitkan obligasi, tetapi tidak ada yang mau membeli kalau instrumennya tidak didukung kredibilitas dan aturan yang kuat," katanya.
Untuk itu, Fraksi Partai Golkar MPR RI menginisiasi serangkaian sarasehan nasional serupa mekanisme RDPU di DPR. Hasil kajian tersebut akan dirangkum dalam naskah akademis yang nantinya diserahkan kepada DPR untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas.
Belajar dari Berbagai Negara
Mekeng mencontohkan sejumlah kota dunia yang sukses memanfaatkan obligasi daerah atau municipal bonds, mulai dari Rio de Janeiro (Brasil), Bogotá (Kolombia), Ahmedabad (India), hingga kota-kota di Amerika Serikat seperti Santa Fe dan Las Vegas.
"Las Vegas dulu daerah tandus. Sekarang maju karena memanfaatkan obligasi daerah. Kuncinya APBD yang transparan, akuntabel, dan kredibel," ujarnya.
Ia juga menyebut penerbitan obligasi daerah telah menjadi praktik umum di Swedia, Inggris, Kanada, hingga Hongkong dan Tiongkok. Negara-negara tersebut memanfaatkan instrumen tersebut untuk membiayai proyek utilitas publik, air bersih, transportasi, hingga pembangunan kota.
Menurut Mekeng, kebutuhan obligasi daerah semakin mendesak karena alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat mengalami penurunan porsi. Berdasarkan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang baru, DAU tidak lagi ditetapkan sebesar 26 persen dari penerimaan negara seperti sebelumnya.
"Di Nota Keuangan 2026, porsinya hanya 19 persen. Artinya sekitar Rp300 triliun tidak lagi dialokasikan ke daerah. Ini yang membuat banyak daerah mengalami kekeringan fiskal," ucapnya.
Obligasi daerah, lanjutnya, dapat menjadi solusi pembiayaan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat, mulai dari jalan, air bersih, rumah sakit, hingga utilitas publik lainnya.
Mekeng mengapresiasi kesiapan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dinilai memiliki kredibilitas fiskal kuat, sebagaimana disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam pidatonya.
"Yogyakarta punya potensi besar untuk menjadi daerah pertama yang menerbitkan obligasi daerah setelah UU-nya nanti disahkan," kata Mekeng.
Ia berharap proses penyusunan UU Obligasi Daerah bisa tuntas pada 2026 sehingga penerbitan pertama dapat dilakukan mulai 2027.
Mekeng menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto mendorong daerah menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada APBN. Ia menyebut dana-dana besar dari institusi seperti Taspen, BPJS Ketenagakerjaan, Asabri, hingga dana pensiun BUMN dapat menjadi investor potensial.
"Kalau mereka alokasikan 10 persen saja, itu bisa sampai Rp1.000 triliun untuk membangun daerah," ujarnya.
Ia optimistis penerbitan obligasi daerah akan memperkuat ekonomi wilayah dan mendorong target pertumbuhan nasional 8 persen.
"Pertumbuhan ekonomi nasional sangat tergantung pada daerah. Kalau daerah berkembang, nasional pasti ikut naik," kata Mekeng.
Menurutnya, obligasi daerah bukan hanya instrumen pembiayaan, tetapi juga instrumen investasi publik dan sarana memperkuat solidaritas antardaerah.
Simak Video "Video MPR Dukung Prabowo Hapus Utang UMKM-Petani: Berpihak pada Rakyat"
(prf/ega)