Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari, menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang tak kunjung mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Minerba. Ia menyinggung semestinya PP tersebut diterbitkan paling lama enam bulan setelah UU Minerba disahkan oleh DPR RI.
"UU Minerba telah diundangkan sejak 19 Maret 2025. Artinya, sampai hari ini pemerintah sudah melewati batas waktu yang ditentukan undang-undang. Ini bentuk kelalaian yang tidak boleh dibiarkan," kata Ratna kepada wartawan, Minggu (5/10/2025).
Legislator PKB ini menilai keterlambatan dikeluarkannya PP berpotensi menghambat implementasi UU Minerba secara utuh. Padahal, kata dia, sektor minerba memiliki posisi strategis bagi Indonesia, bukan hanya sebagai sumber daya ekonomi, melainkan juga sebagai instrumen penting untuk kemandirian bangsa.
"Indonesia kaya akan sumber daya minerba. UU ini lahir untuk memastikan bahwa kekayaan alam tersebut benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan asing. Tanpa adanya aturan pelaksana, cita-cita kemandirian dan kedaulatan bangsa akan sulit terwujud," ujar Ratna.
Lebih lanjut, Ratna mendesak pemerintah segera menuntaskan seluruh regulasi turunan yang diperlukan. Ia berharap tata kelola minerba dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang.
"Pemerintah tidak boleh mengabaikan urgensi ini. Minerba bukan sekadar komoditas ekonomi, tapi fondasi kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan yang tepat, minerba bisa menjadi motor kemandirian nasional dan benteng Indonesia dari ketergantungan pada pihak asing," tambahnya.
Ratna menyatakan bahwa keterlambatan ini bukan sekadar urusan administratif, tetapi telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha di sektor pertambangan dan menahan potensi penerimaan negara. Ia menilai tanpa kejelasan teknis mengenai mekanisme WIUP, pembagian kewenangan pusat-daerah, serta prioritas pemberian izin bagi koperasi, UMKM, badan usaha milik daerah, dan ormas keagamaan, pelaksanaan kebijakan minerba berpotensi tersendat.
"UU Minerba 2025 sudah memberi arah jelas untuk menciptakan tata kelola pertambangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak pada kepentingan nasional. Namun tanpa PP pelaksana, seluruh amanat dalam Pasal 17 tentang penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tidak bisa dijalankan secara efektif," ujar Ratna.
"Investor menunda ekspansi, pemerintah daerah kebingungan mengambil langkah, dan masyarakat lokal kembali menjadi korban ketidakpastian kebijakan. Ini situasi yang tidak boleh dibiarkan terlalu lama," tambahnya.
Adapun fraksi PDI Perjuangan di DPR RI sebelumnya menyoroti lambannya pemerintah dalam menerbitkan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Padahal aturan pelaksana ini menjadi kunci agar ketentuan baru dalam UU bisa berjalan efektif.
Anggota Komisi XII DPR RI sekaligus Kapoksi Fraksi PDIP, Yulian Gunhar, mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 174 ayat (1) UU No 2/2025, pemerintah diwajibkan menerbitkan PP paling lambat enam bulan sejak UU berlaku. Namun hingga kini aturan tersebut belum juga terbit.
"Ini menjadi pertanyaan serius. Apakah pemerintah betul-betul konsisten dan serius dalam membenahi tata kelola minerba atau justru membiarkan ketidakpastian hukum berlarut-larut?" ujar Gunhar, Sabtu (4/10/2025).
Sebagai informasi, UU Nomor 2 Tahun 2025 merupakan perubahan keempat atas UU Minerba 2009. Salah satu poin pentingnya adalah memberikan prioritas pengelolaan tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, BUMD, UMKM, dan koperasi.
Agar ketentuan baru ini dapat berjalan, pemerintah diwajibkan menyusun PP sebagai pedoman teknis. Tanpa aturan turunan tersebut, implementasi UU akan terhambat dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tonton juga video "Komisi XII DPR Bakal Cari Tahu Penyebab Kelangkaan BBM di SPBU Swasta" di sini:
(dwr/gbr)