KPK menetapkan Staf Ahli Menteri Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial Kemensos, Edi Suharto, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi distribusi bantuan sosial (bansos) tahun 2020. Edi mengaku tidak mengenal Komisaris Utama PT Dosni Roha Logistik (PT DNR), Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo atau Rudy Tanoe.
"Sejak awal, saya tidak kenal sama sekali dengan Rudy Tanoe, namun belakangan saya ketahui bahwa Rudy Tanoe adalah teman Menteri Sosial, Pak Juliari," kata Edi Suharto di Acacia Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2025).
KPK juga telah menetapkan Rudy sebagai tersangka dalam kasus ini. Edi mengatakan karier yang ia bangun selama 30 tahun hancur karena adanya kasus ini.
"Dengan peristiwa ini, karir dan reputasi yang telah saya bangun selama lebih dari 30-an hancur. Saya juga menderita lahir dan batin. Setiap malam terbangun, kadang-kadang tidak bisa tidur, kadang-kadang bergetar, dan seterusnya. Keluarga saya pun menderita lahir dan batin. Hak-hak saya sebagai ASN karena kasus ini menjadi tidak jelas," kata Edi.
"Karier saya untuk melanjutkan kembali sebagai akademisi juga kandas. Keinginan saya untuk momong cucu-cucu di masa tua saya tidak dapat diwujudkan. Teman-teman, sahabat, dan tetangga menjaga jarak, bahkan ada yang menjauhi saya," tambahnya.
Edi meminta KPK membebankan tanggung jawab kasus korupsi bansos ini ke Juliari P Batubara selaku Menteri Sosial saat itu. Dia mengaku hanya menjalankan tugas dari Juliari.
"Maka, demi keadilan dan kebenaran, saya meminta kepada KPK agar pertanggungjawaban dibebankan kepada penguasa yang berwenang, yang menugaskan saya untuk melaksanakan perintah jabatan. Sesuai dengan apa yang ditegaskan pada Pasal 51 ayat 1 KUHP, maka seharusnya yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana ini adalah Menteri Sosial pada saat itu, Bapak Juliari P Batubara," ujarnya.
Selain itu, Edi menjelaskan sudah pernah diperiksa KPK dalam kasus ini terkait PT Bhanda Ghara Reksa (PT BGR). Dia mengira kasus ini sudah selesai.
"Saya juga sudah diperiksa PPATK, rekening saya, dan seluruhnya juga tidak ditemukan ada aliran dana dan seterusnya. KPK juga telah datang ke rumah saya, menggeledah, tidak ditemukan dokumen atau bukti yang berhubungan dengan perkara. Itu yang pertama. Itu yang membuat saya saat itu yakin bahwa kasus ini sudah selesai," ujarnya.
Dia kaget karena dipanggil lagi oleh KPK untuk diperiksa terkait PT DNR. Dia mengklaim tak sempat lagi memberikan keterangan apa pun terkait PT DNR.
"Yang pertama, yang awal itu, saya diminta klarifikasi. Malam hari waktu itu, lalu saya juga menjelaskan apa adanya. Tetapi pada waktu berikutnya, di bulan Agustus, tiba-tiba saya diberitahu bahwa saya dipanggil lagi," kata Edi.
"Dua sekaligus ada untuk saksi, maupun untuk tersangka. Ini yang membuat saya syok. Saya tidak menyangka secepat itu. Saya tidak sempat lagi memberikan keterangan tambahan terkait DNR ini," tambahnya.
Lebih lanjut, Edi mengaku akan tetap menjalankan tugas yang saat ini diembannya di Kemensos RI sebagai staf ahli. Sebagai informasi, Edi menjabat Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos pada 2020 saat program bansos ini dijalankan.
"Ya, semampu dan sekuat saya, saya tetap menjalankan tugas-tugas sehari-hari. Beberapa tempo hari kami hadir. Ada juga beberapa kegiatan lain juga kami hadir di tengah badai yang sedang melanda ini," ujarnya.
(mib/zap)