Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Dedi Iskandar Batubara meminta pemerintah pusat tidak mengurangi dana transfer ke daerah karena bisa berdampak ke masyarakat. Ia menilai pengurangan dana ini akan mendorong kepala daerah mencari sumber lain, seperti menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Namun, kebijakan menaikkan PBB itu menjadi beban bagi masyarakat di daerah. Oleh karena itu, tidak boleh kurangi dana transfer ke daerah," ujar Dedi dalam keterangan tertulis, Rabu (27/8/2025).
Hal tersebut ia sampaikan pada diskusi publik bertema 'Penguatan Peran DPD RI Dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah Daerah' di Hotel Santika Premiere, Bintaro (26/8).
Senator asal Sumatera Utara itu menjelaskan tema diskusi publik kali ini sangat relevan dan strategis. Menurutnya, DPD memang harus melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah.
"Diskusi publik ini strategis karena sekitar 125 daerah menaikkan kebijakan pajak. Walaupun yang viral itu Kabupaten Pati dan Kabupaten Bone," sambungnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan pemerintah pusat dan semua pihak untuk kembali pada semangat reformasi yang diawali dengan otonomi daerah.
"Berikan kewenangan yang luas kepada derah untuk mengorkestrasi pembangunan di daerahnya sehingga inovasi pembangunannya berjalan," ucapnya.
"Intinya, DPD RI itu perpanpanjangan tangan dan jembatan penghubung. Sebagai jembatan penghubung, dia harus bisa mengartikulasikan kepentingan daerah di tingkat pusat sekaligus mengingatkan pemerintah pusat bahwa mereka punya tanggung jawab untuk menjaga daerah itu," sambungnya.
Sebelumnya, saat memberikan sambutan, Dedi juga menyinggung pentingnya memperkuat peran DPD dalam mengawasi kebijakan pemerintah daerah. Ia menyebut DPD lahir dari persoalan di daerah, dari tuntutan pemerataan ekonomi hingga adanya sebagian daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22D. Namun ia menilai kewenangan tersebut masih terbatas karena DPD tidak memiliki otoritas penuh dalam legislasi, budgeting, maupun pengawasan.
"Seiring berjalan, kewenangan DPD di Pasal 22 D dianggap masih banyak kelemahan karena DPD RI tidak diberikan otoritas sebagai pengambil keputusan baik di bidang legislasi, budgeting, maupun pengawasan yang terkait kedaerahan," terang Dedi.
Ia menambahkan kewenangan DPD juga diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 249 huruf j, yaitu melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah. Menurutnya, pasal tersebut memberi ruang pada DPD untuk mengawasi kebijakan daerah, namun hasil evaluasi tidak bisa membatalkan raperda atau perda yang bertentangan aturan di atasnya.
"Sedangkan saat ini kewenangan untuk menganulir Raperda dan Perda ada di tangan pemerintah pusat ataupun juga bisa dilakukan dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung jika dianggap perda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya," sambungnya.
Dedi juga menanggapi maraknya demo terhadap kepala daerah terkait kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. Menurutnya, hal itu tak perlu terjadi jika kepala daerah lebih transparan dan mau berkomunikasi dengan stakeholder, mulai dari DPRD, gubernur, Kemendagri, hingga DPD. Ia menilai DPD seharusnya diberikan kewenangan lebih kuat dalam pemantauan dan evaluasi perda agar pengawasan preventif lebih efektif.
"Perlu didorong tugas DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap Raperda dan Perda tidak hanya diatur dalam UU MD3, namun juga diatur dalam UU Pemerintah Daerah," kata Dedi.
Menurut Dedi, pengawasan preventif ini penting agar kebijakan pemda tetap sesuai koridor hukum dan kehendak masyarakat. Ia menekankan perlunya pengawasan berlapis mulai dari gubernur, menteri dalam negeri (Mendagri), hingga DPD sebelum perda dinyatakan sah dan bisa dilaksanakan.
Meski begitu, Dedi mengakui keberadaan DPD seringkali belum diterima sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Relasi DPD dan kepala daerah tidak selalu sinergis, karena ada pandangan yang menganggap DPD tidak membawa keuntungan langsung dibanding DPR.
Ia menegaskan mindset tersebut harus diubah karena menurutnya DPD memiliki peran strategis untuk mengadvokasi persoalan kedaerahan.
"DPD bisa menjadi jembatan sekaligus mengawal kepentingan pusat dan daerah agar program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat sejalan dan seirama dengan apa yang dijalankan pemerintah daerah, sehingga tidak ada yang dirugikan ataupun ditinggalkan satu sama lain," pungkasnya.
Sebagai informasi, acara ini dihadiri oleh beberapa anggota DPD, diantaranya Ahmad Bastian SY (Lampung), Prof. Dailami Firdaus (DKJ), Ria Saptarika (Kepulauan Riau), dan Pdt. Penrad Siagian (Sumut) sebagai narasumber. Turut hadir pula Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia Prof. John Pieris, Anggota K3 MPR Nurmawati Dewi Bantilan, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Prof. Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN Prof. Muhadam Labolo, serta pengamat hukum tata negara Dr. Radian Syam.
(akd/akd)