Era globalisasi memudahkan orang berkomunikasi dengan bermacam bahasa. Tapi bagaimana bila membuat perjanjian dalam bahasa asing? Apakah boleh di mata hukum?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate, yaitu:
Siang detik's Advocate
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kantor saya homebase-nya di Jakarta dan mau membuat kerja sama usaha dengan perusahaan Australia. Rencananya, perjanjian akan dibuat dalam bahasa Inggris.
Bagaimana secara hukum Indonesia? Apakah hal itu boleh?
Terima kasih
Fitri
Jakarta
JAWABAN
Terima kasih atas pertanyaannya. Aturan perjanjian diatur dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 31 menyatakan:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Dalam praktiknya, penerapan Pasal 21 UU 24/2009 itu mendapat banyak masalah. Karena banyak perusahaan swasta yang melakukan perjanjian dengan berbahasa asing.
Salah satunya kasus adalah sengketa bisnis antara perusahaan asal Texas, Amerika Serikat dengan perusahaan di Jakarta Barat. Perjanjian kedua belah pihak dibuat dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan oleh penerjemah resmi serta tersumpah.
Dalam perjalanannya, perjanjian bisnis itu mengalami kendala dan harus berakhir ke pengadilan. Perusahaan dari pihak Indonesia mengajukan permintaan ke hakim berupa pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian dibuat dalam bahasa asing.
Hasilnya, PN Jakbar mengabulkan dan membatalkan perjanjian itu. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Setelah itu, diskursus hukum akhirnya terjadi di kalangan praktisi hukum. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung (MA) membuat Surat Edaran MA yang menyatakan lembaga swasta yang mengadakan perjanjian dengan bahasa asing tidak otomatis batal sepanjang bisa dibuktikan tidak ada iktikad buruk dalam perjanjian itu. Sikap MA itu dituangkan dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023. Lengkapnya yaitu:
Lembaga swasta Indonesia dan/atau perseorangan Indonesia, yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing dalam bahasa asing yang tidak disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak.
Lalu apa itu itikad tidak baik yang dimaksud?
SEMA 3/2023 tidak menjelaskan hal tersebut. Namun menurut pendapat para ahli hukum, itikad tidak baik/itikad buruk merupakan lawan dari iktikad baik (good faith). Berikut ciri-ciri adanya itikad buruk/itikad tidak baik:
- Adanya kesesatan
- Adanya paksaan
- Adanya penipuan
Sedangkan itikad baik (good faith) berarti kejujuran orang yang beriktikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan (Subekti).
Sedangkan menurut J. Satrio asas iktikad baik yaitu kreditur pada waktu melaksanakan hak-haknya dan debitur pada waktu memenuhi kewajibannya (yang timbul dari perjanjian), harus bertindak (bersikap) dengan mengindahkan (memperhatikan) tuntutan kepantasan dan kepatutan. Para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan perjanjian sebagaimana yang dituntut dalam pergaulan hidup terhadap orang-orang yang baik dan lumrah, tanpa ada pemerasan, tanpa menghalang-halangi lawa janjinya dalam berprestasi, tanpa menyulitkan dan menyebabkan timbulnya ongkos yang tidak perlu pada lawan janjinya.
Prinsip iktikad baik juga berlaku sejak tahap prakontraktual (negosiasi/perundingan), tahap kontraktual (pembentukan/formation of contract), hingga tahap pascakontraktual (pelaksanaan perjanjian).
Demikian jawaban dari kami.
Terima kasih
Tim Pengasuh detik's Advocate
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke e-mail: andi.saputra@detik.com
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang Anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/azh)