Perkawinan merupakan ikatan lahir batin untuk bertujuan menjadikan keluarga bahagia. Tapi, bagaimana bila muncul percekcokan?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate, yaitu:
Assalamualaikum Wr Wb
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya sudah menikah dengan istri saya sudah genap 3 tahun. Dan saya sudah punya 1 anak.
Akhir-akhir ini saya dan istri saya sering berantem. Ini masalah sepele atau memang masalah besar saya tidak paham. Dan hari ini saya ribut lagi dengan istri, karena istri berbohong kepada saya. Istri saya mau meminjamkan uang ke saudari perempuannya dengan alasan untuk saudara laki-lakinya yang membutuhkan. Lalu saya tidak memberi izin, dengan alasan saya pernah dihakimi saudarinya, dengan datang ke rumah menjemput istri saya, saya mendapat kata-kata yang menyakitkan, sehingga saya tidak bisa lupa dengan itu.
Itulah alasan saya tidak memberi izin ke istri. Namun istri berpendapat saya tidak suka dengan keluarganya, dan membuat saya khilaf. Dan mengatakan jika tidak ada anak saya sudah mengembalikan dia ke orang tuanya.
Saya berpikir saya tidak bisa memberi arahan kapada istri saya, istri saya dan saya sendiri mengakui kami saling keras kepala.
Tolong beri solusi, apakah saya harus menceraikan istri atau tidak? Dan apakah saya salah?
JAWABAN:
Terima kasih atas pertanyaannya.
Pertama, perlu kami ingatkan lagi kepada penanya bahwa tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Hubungan hukum perkawinan adalah hubungan yang didasarkan norma agama, bukan norma negara semata. Oleh sebab itu, perkawinan merupakan ikatan yang suci. Oleh sebab itu, dalam perjalanan perkawinan, maka ketika ada masalah rumah tangga, haruslah mengingat akan tujuan pertama kali mengikatkan janji untuk menikah.
Namun demikian, apabila sudah tidak ada solusi dan percekcokan terus menerus, maka perceraian menjadi salah satu pilihan yang terbaik dari yang terburuk. Hal itu sebagaimana hadis Rasul yang berbunyi:
"Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq (cerai)" (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sebab implikasi perceraian sangat dahsyat dan meluas, baik kepada kehidupan keluarga itu sendiri antara ayah, ibu dan anak, tetapi juga kepada kehidupan bermasyarakat. Perceraian telah memutuskan tali silaturahmi yang selama ini sangat kuat antara keluarga istri dan suami. Perceraian juga menimbukan lemahnya generasi penerus yang kurang kasih sayang, korban pertengkaran suami istri.
Adapun alasan perceraian berdasarkan Penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU Perkawinan yaitu:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Apa yang anda alami bisa jadi memasuki kategori syarat ketujuh, yaitu terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Tapi berapa lama perselisihan itu? Mahkamah Agung (MA) dalam Surat Edaran MA Nomor 3 Tahun 2023 memberikan minimal limit perselisihan minimal 6 bulan. Selengkapnya berbunyi:
"Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 (enam) bulan kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat/Penggugat melakukan KDRT."
Gugatan perceraian tersebut bisa diajukan ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) setempat. Sebagai penutup, kami menyarankan penanya dengan istri dan keluarga besar istri menjalin komunikasi dengan kepala dingin. Perkawinan tidak bertujuan mencari siapa yang menang dan kalah, tapi harus bisa mengikhlaskan dalam menghadapi setiap perbedaan. Sebab tidak ada manusia yang sempurna.
Demikian jawaban kami. Kami berharap masalah anda dan istri anda segera selesai.
Tim Pengasuh detik's Advocate
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/haf)