Nama jaksa Regina Olga Boru Manik kini mulai dikenal luas di kalangan masyarakat Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Regina, yang kini menjabat sebagai Kasubsi Pra Penuntutan Pidana Umum, dikenal sebagai jaksa yang kerap menyelesaikan perkara dengan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).
Selama dua tahun bertugas di Kejaksaan Negeri Sarolangun, setidaknya tujuh perkara dapat diselesaikan secara restorative justice oleh Regina. Dia juga menjadi jaksa muda yang kini diharapkan masyarakat Sarolangun lantaran mewakili para jaksa fasilitator dari Provinsi Jambi untuk meraih Adhyaksa Award 2024.
Adhyaksa Awards 2024 adalah program penghargaan jaksa-jaksa berprestasi tingkat nasional. Acara ini merupakan kerja sama antara Kejaksaan Republik Indonesia dan detikcom. Malam puncak Adhyaksa Awards 2024 rencananya akan digelar pada Jumat, 5 Juli 2024, di Jakarta.
Upaya restorative justice terbaru yang dilakukan Regina adalah terhadap kasus pencurian buah sawit yang dilakukan tersangka Anggun Wibowo. Regina mengambil langkah restorative justice atas kasus itu karena mempertimbangkan rasa keadilan dan rasa kemanusiaan.
Anggun adalah seorang pekerja di perusahaan kelapa sawit dengan upah Rp 15 ribu selama setengah hari. Dia mencuri buah sawit di perusahaan tempatnya bekerja lantaran terdesak kebutuhan membelikan buah-buahan untuk istrinya yang tengah hamil muda.
"Jadi memang dalam proses pra penuntutan itu adalah hal paling penting untuk dilakukan seorang jaksa, karena pada saat prapenuntutan jaksa dapat meneliti berkas perkara dan menelaah peran tersangka serta niatnya melakukan tindak pidana tersebut. Nah, mengenai kasus yang dialami tersangka Anggun Wibowo karena saya merasa tergerak pada saat tersangka ini katakan ingin memberikan dan membelikan buah-buahan kepada istrinya yang sedang hamil," kata Regina kepada detikcom, Rabu (5/6/2024).
Saya cukup terharu ketika melihat kesempatan diberikan untuk tersangka kembali ke keluarga dan memperbaiki kesalahannyaJaksa Regina |
Regina menilai pencurian dilakukan Anggun lantaran kondisi ekonomi yang sangat berat. Regina juga menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan tersangka karena sebuah keterpaksaan demi kebahagiaan istri dan calon buah hatinya.
Sebelum melakukan langkah restorative justice, Regina bersama tim bidang Pidum Kejari Sarolangun mengecek kehidupan tersangka. Dengan dibantu kepala desa, Regina melihat langsung kehidupan tersangka yang tinggal di sebuah pondok dekat area perkebunan.
"Akses rumah Tersangka itu cukup jauh. Saya sempat berdialog dengan istri dan abang Tersangka terkait kebiasaan sehari-hari Tersangka. Istri Tersangka bernama Pujiyanti (18 tahun) tengah hamil dengan usia kandungan sekira dua bulan. Saya juga tanya mengenai kebenaran apakah susah untuk makan sehari-hari dan membeli keperluan rumah tangga? Pada saat itu Ibu Pujiyanti membenarkan hal tersebut. Apalagi istri Tersangka itu tidak bekerja dan yang hanya menjadi tulang punggung keluarga hanya Tersangka," cerita Regina.
Tujuan Regina melakukan restorative justice kepada tersangka Anggun karena melihat berbagai hal. Pertama tersangka Anggun adalah orang tidak mampu. Lalu tersangka juga terpaksa mencuri buah sawit sebesar Rp 300 ribu karena niat baik untuk istrinya yang sedang mengidam buah-buahan. Anggun sebelumnya juga belum pernah dihukum.
"Pada saat proses restorative justice, saya sangat senang ketika disetujui oleh almarhum Bapak Jampidum, yakni Bapak Fadhil Zumhana. Waktu itu Ibu Pujiyanti, yang merupakan istri Tersangka, dan ibu kandung Tersangka juga mengucapkan terima kasih kepada Kejari Sarolangun. Saya cukup terharu ketika melihat kesempatan diberikan untuk tersangka kembali ke keluarga dan memperbaiki kesalahannya," ucap Regina.
Berkat upaya restorative justice yang diambil Regina, kini Anggun telah menjadi seorang ayah setelah anak dalam kandungan istrinya itu telah lahir di dunia. Anggun juga sudah kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga anak istrinya.
Bukan hanya restorative justice untuk kasus Anggun, Regina juga pernah melakukan langkah yang sama terhadap kasus lainnya, yaitu kecelakaan tunggal di antara dua sahabat yang juga satu kampus di perguruan tinggi di Jambi. Kala itu kedua sahabat tersebut mengendarai sepeda motor dan mengalami kecelakaan tunggal. Dari kecelakaan itu, keduanya terlibat keributan besar.
Perkara itu awalnya akan diselesaikan dengan cara perdamaian secara adat. Namun penyelesaian secara adat akan sulit lantaran harus melibatkan Lembaga Adat Melayu (LAM), baik dari Jambi maupun dari Sarolangun. Regina sampai harus bolak-balik ke lokasi yang jauh di perbatasan kabupaten lain untuk proses perdamaian.
Akhirnya, persoalan itu ditangani secara restorative justice. Regina berpatokan pada pedoman dan instruksi terkait penanganan keadilan restoratif, seperti memilah kasus berdasarkan pasal yang digunakan dengan ancaman pidana di bawah 5 tahun. Apalagi kerugian dalam kasus itu tidak melebihi batas Rp 2,5 juta. Melalui pembicaraan dari hati ke hati, proses restorative justice kasus itu pun terwujud.
Ada pula kasus lain yang berhasil diselesaikan dengan restorative justice. Kali ini Regina menganggap pihak yang terlibat perkara cukup sulit untuk didamaikan. Kasusnya adalah penganiayaan oleh ibu dan anak kepada seorang perempuan. Penganiayaan ini dipicu oleh kecemburuan, lantaran perempuan yang dianiaya tersebut dianggap punya hubungan dengan suami si ibu itu.
Untuk mendamaikan kasus penganiayaan ringan ini, Regina harus turun bersama tim ke lokasi sebanyak lebih dari tiga kali. Awalnya, kedua belah pihak sudah berusaha melunturkan ego masing-masing. Namun, ada pihak-pihak lain yang menghasut agar keduanya tidak usah berdamai.
"Namun karena saya dan tim Kejari Sarolangun melakukan koordinasi secara efektif kepada penyidik, Kepala Desa, Lembaga adat dan tokoh masyarakat di daerah tersebut akhirnya saya dan tim berhasil melakukan pertemuan di aula kantor desa dan melakukan acara adat untuk para tersangka dan korban sampai proses perdamaian dilanjutkan di kantor Kejari Sarolangun," terang Regina.
Regina mengaku selama menjadi jaksa fasilitator untuk restorative justice, tidak semua yang diharapkannya benar-benar terwujud. Apalagi perdamaian itu hanya akan muncul ketika korbannya berkehendak dan ikhlas memaafkan perbuatan tersangka.
Konsep ide "restore" (memulihkan dan memperbaiki) menjadi tantangannya ketika dia sebagai jaksa. Dia harus mengeluarkan kata per kata yang bisa menggugah isi hati korban untuk memaafkan dan juga kata per kata yang tegas kepada tersangka supaya memastikan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Proses berjalannya penanganan perkara yang dilakukan restorative justice sangat melatih Regina menjadi jaksa yang wajib memiliki kesabaran ekstra. Dia juga harus benar-benar memahami tidak hanya apa yang terurai di berkas perkara, tetapi hal-hal lain pada saat melakukan pertemuan secara terpisah atau tersendiri mulai antara korban dan tersangka.
"Tantangan ini yang saya rasakan apalagi untuk penanganan perkara RJ di Sarolangun kami juga selalu melibatkan Lembaga Adat Melayu Jambi karena saya dan tim sepakat tetap harus ada proses adat agar menjadi catatan moril bagi tersangka. Ini juga membantu saya dan juga Jaksa yang lain agar memastikan tersangka tidak mengulangi perbuatannya karena peran Lembaga Adat, perangkat desa dan tokoh masyarakat juga sangat membantu mengamati pasca restorative justice berhasil dicapai," terang Regina.
(asp/irw)