Sejumlah warga pindah ke hunian sementara (huntara) setelah diminta mengosongkan Kampung Susun Bayam di Jakarta Utara (Jakut). Warga menilai kondisi huntara jauh dari kata layak.
"Jauh ya, yang pertama kalau untuk di sini kita lihat saja situasi kondisi. Kesehatan warga untuk kenyamanan bermukim ini kayaknya gimana. Ini harus menjadi perhatian," kata Ketua Kelompok Tani Kampung Susun Bayam, Furqon (46), di lokasi, Rabu (22/5/2024).
Dia mengatakan huntara tersebut sudah mereka tinggalkan sejak 1,5 tahun sehingga perlu perbaikan lagi. Dia mengatakan Kelompok Tani Kampung Susun Bayam terdiri atas 60 keluarga.
Namun saat ini baru terdata 37 keluarga yang pindah ke huntara. Dia mengatakan warga akan merapikan lagi huntara.
"Kita harus rapikan lagi. Dulu ini kita bangun warga bersama-sama, nggak ngerepotin JakPro, gotong royong kok. Terus apa lagi yang disalahkan ke kami? Kami sudah cukup membantu," ujar dia.
Furqon mengatakan warga juga sempat memasang instalasi listrik saat dulu tinggal di huntara. Namun, karena hunian lama tak dihuni, jaringan listrik tersebut dicabut.
"Iya (belum ada listrik dan air) kondisinya kan lihat saja, tong baru disiapin. Ya dari ulang lagi, persiapan kebutuhan air, listriknya kan baru bikin tiang," ujarnya.
Dia mengatakan kondisi huntara tak layak karena hanya menjadi tempat singgah saat dulu Kampung Susun Bayam masih dibangun. Setelah pembangunan Kampung Susun Bayam selesai, warga pun meninggalkan huntara.
Ingin Balik ke Kampung Susun Bayam
Furqon mengatakan warga masih ingin kembali ke Kampung Susun Bayam. Dia meminta pemerintah tak melakukan intimidasi dan memenuhi kebutuhan warga.
"Bukan keinginan, kalau memang pemerintah melihat apa yang sudah dilakukan bersama masyarakatnya, maka lakukan lagi bersama masyarakatnya bersama, kita kooperatif kok. Jangan seperti kemarin, ditangkaplah, dipenjarakanlah, diintimidasi, hak-hak rakyat kok malah diabaikan? Hak air, hak listrik, hak hidup, hak pendidikan, itu kan diabaikan," ujar dia.
Furqon membenarkan bahwa warga telah menerima santunan. Meski begitu, menurutnya, tak semestinya warga tak diusir dari Kampung Susun Bayam.
"Secara riilnya ada faktanya. Resume santunan itu saya sebagai ketua ada Rp 47 juta, ada usaha bersama warga, hak saya ada Rp 17 juta, inilah (huntara) yang dibangun. Sekarang kalau 50 KK ada yang diganti Rp 6 juta, ada yang di bawah Rp 40 juta, kita hitung, sinkron nggak dengan jumlah itu? Itu saja, kita berbicara fakta," katanya.
Dia mengatakan warga dilibatkan sejak awal pembangunan Kampung Susun Bayam. Warga menyayangkan adanya perubahan kebijakan.
"Kalau misalnya resume santunan itu diberikan sebagai ganti rugi, kenapa kita harus repot-repot untuk merencanakan pembangunan Kampung Susun Bayam? Dan kenapa kita repot-repot pindah ke hunian sementara selama satu tahun Kampung Susun Bayam itu dibangun. Ketika sudah jadi, kok hak kita diabaikan? Ganti kebijakanlah, aneh," ujar dia.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
(jbr/imk)