Memiliki rumah pribadi menjadi idaman banyak orang. Tapi, bagaimana bila ternyata proyek mangkrak? Ditambah saat komplain, malah dipingpong, bisakah developer dipidanakan?
Berikut pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim lewat surat elektronik. Selengkapnya yaitu:
Hi, Saya Reza, saya konsumen dari Perumahan KGG, Kabupaten Bogor tahap 2, 29 Oktober 2022 saya akad rumah di Bank BUMN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedikit informasi kenapa saya ambil rumah di KGGS. Saat saya survei saya sudah suka dengan perumahannya karena sudah berjalan dengan baik. Sistemnya seperti one gate sytem sudah memiliki satpam, jalanan yang rapih dan tertata.
Tahap 1 yang sudah jalan dan ramai, dan spesifikasi rumah yang menarik karena masih menggunakan batu bata merah dan itu menjadi point tambahan saya memilih rumah tersebut. Dan diawal saya dijanjikan dengan marketing 8 bulan indent, karena tetangga saya sudah mengambil duluan di KGG dan dia juga tahap 2 dan sudah selesai. Akhirnya saya memutuskan untuk booking sebesar.
Singkat cerita, rumah saya dibangun di awal bulan Januari 2023, dan saya senang karena sudah berjalan proses pembangunan rumah saya. dan tiba di bulan Kuli, karena bulan Juli itu sudah mendekati perjanjian awal yang marketing janjikan 8 bulan indent, akhirnya saya memutuskan datang untuk cek progres langsung.
Saat saya sampai ke KGG saya bingung karena di situ tidak ada tukang yang bekerja sedangkan rumah masih tahap pembangunan. Tiba waktu saya pulang saya mencoba bertanya ke satpam dekat pintu gerbang perumahan dan kebetulan ada banyak warga tahap 1 yang sedang duduk di dekat gerbang.
Saat saya bertanya ke satpam seperti ini pertanyaannya:
"Pak mau tanya itu tukang yang membangun perumahan tahap 2 memang kalau sore sudah pulang ya?."
Dan dijawab:
"Saya kurang tahu Mas."
Dan di situ warga menjelaskan ke saya seperti ini:
"Mas itu tukang sudah nggak ada dari pertengahan tahun 2023. Itu rumah mas tidak dibangun bangun dari pertengahan tahun itu, masnya rumah yang dipojok kan, mas laporin saja itu sudah tidak benar developernya, surat surat kita saja bermasalah belum dipecah," kisah warga.
Singkat cerita saya pulang dan saya baru mengetahui kalau masalah di perumahan tersebut bukan saja pembangunan ternyata surat suratnya pun masih proses dipecah. Di situ saya mulai berusaha untuk push dan follow up ke developer terkait masalah pembangunan dan developer nya pun tidak menanggapi dan responnya pun tidak ada sama sekali. Saya harus mengancam dengan mengatakan seperti ini:
"Kalau tidak ada respons sama sekali saya akan follow up di media sosial"
Yang akhirnya developer membalas chat saya, tapi itu tidak bertahan lama, dan tiba tahun baru 2024 saya masih berusaha untuk push dan follow up developer sampai saya membuat perjanjian dengan developer di atas materai yang isinya:
Developer akan menyelesaikan pembangunan rumah saya pada tanggal 15 Januari 2024 dan surat surat saya pada bulan Oktober.
Dan di sini statusnya sudah mangkrak pembangunan. Dan ternyata perjanjian atau komitmen yang dibuat tersebut tidak terrealisasi dan dari pihak developer juga pun tidak ada kabar sama sekali, dan saya sudah chat berkali kali untuk menanyakan kejelasan terkait pembangunan dan perjanjian yang sudah disepekati tapi tidak ada balasan sama sekali.
Akhirnya di sini saya bingung karena di satu sisi saya sudah males berhubungan dengan developer karena tidak ada kejelasan dari developer dan pada tanggal 11 Februari 2024 saya mencoba untuk membuat surat keluhan ke bank, yang isi surat tersebut:
Saya meminta untuk dipertemukan dengan developer dan membuat perjanjian penyelesaian pembangunan dan surat surat rumah.
Dan di tanggal 26 Febuari 2024 saya datang ke bank atas kemauan diri sendiri karena tidak ada kabar sama sekali. Dan ketemu dengan pihak bank, dan saya dijelaskan kalau surat keluhan saya sudah diterima dan masih menunggu kabar developer. Dan di situ pihak bank mengingatkan kembali kalau bank sendiri hanya sebagai jembatan jadi tidak bisa bank push atau followup terkait pembangunan rumah.
Sampai saat ini saya mengirim ke redaksi@detik.com tidak ada kejelasan dari pihak bank maupun pihak developer. Dan di titik ini saya sudah bingung harus ke mana.
Jadi saya sangat kecewa bukan hanya ke pihak developer melainkan juga ke pihak bank.
Terima kasih detik's Advocate
Reza
Kabupaten Bogor
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami meminta pendapat dari Yudhi Ongkowijaya, SH, MH. Berikut jawaban lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Kami mengasumsikan adanya suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar perikatan antara Saudara dan pihak developer, sehingga permasalahan yang sedang dihadapi saat ini sepenuhnya harus mengacu kepada isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang sudah disepakati.
Aturan hukum tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas suatu rumah terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaran Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 14/2016) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 12/2021). Di dalam Pasal 1 angka (11) PP 12/2021 dinyatakan bahwa, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang, untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun, yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret, yang dibuat di hadapan Notaris.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (I) PP 12/2021, PPJB dilakukan setelah developer memenuhi persyaratan kepastian atas :
a. Status kepemilikan tanah;
b. Hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung (PBG);
d. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
e. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (J) PP 12/2021, PPJB paling sedikit harus memuat :
a. Identitas para pihak;
b. Uraian obyek PPJB;
c. Harga Rumah dan tata cara pembayaran;
d. Jaminan pelaku pembangunan;
e. Hak dan kewajiban para pihak;
f. Waktu serah terima bangunan;
g. Pemeliharaan bangunan;
h. Penggunaan bangunan;
i. Pengalihan hak;
j. Pembatalan dan berakhirnya PPJB;
k. Penyelesaian sengketa.
Oleh karena PPJB bentuknya adalah perjanjian, maka secara umum tunduk kepada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain itu, juga bersandar kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yakni, sepakat, cakap, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Terhadap isi dari PPJB yang sudah ditandatangani wajib dilaksanakan oleh para pihak dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian terikat kepada ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) dan Ayat (3) KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Berdasarkan aturan-aturan hukum tersebut di atas, maka tindakan developer yang tidak memenuhi janjinya, dapat dituntut secara perdata melalui gugatan ke Pengadilan Negeri. Pelanggaran dalam memenuhi janji atau prestasi menyebabkan Wanprestasi. Wanprestasi adalah kelalaian / ketidakmampuan debitur dalam memenuhi prestasi. Adapun prestasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan : "Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu".
Lebih lanjut, Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Hukum Perjanjian, menjelaskan tentang Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :
β’ Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
β’ Melakukan apa yang dijanjikannya, namun tidak sebagaimana yang dijanjikan;
β’ Melakukan apa yang dijanjikannya, namun terlambat;
β’ Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
PERDATA-PIDANA
Selain itu, perbuatan developer tersebut juga dapat dituntut atas dasar peraturan perundang-undangan di bidang konsumen. Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).
Pasal 4 UU 8/1999 menyatakan bahwa :
"Hak konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya."
Dari ketentuan di atas, maka tindakan developer selaku penjual yang tidak memberikan barang sesuai seperti yang dijanjikannya kepada Saudara selaku pembeli, merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak konsumen. Konsekuensi bagi penjual atas pelanggaran tersebut, terdapat di dalam ketentuan Pasal 7 Huruf (g) UU 8/1999 yang secara garis besar menyatakan bahwa penjual berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pembeli merasa keberatan dengan barang yang dibelinya karena tidak sesuai perjanjian, dan penjual menolak untuk memberikan ganti rugi, maka timbul sengketa konsumen. Terhadap permasalahan sengketa konsumen, penyelesaiannya dapat ditempuh melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK) atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (Pasal 45 Angka (1) UU 8/1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 Angka (4) UU 8/1999, apabila upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar Pengadilan melalui lembaga BPSK dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa, maka upaya gugatan melalui Pengadilan baru dapat ditempuh. Gugatan bisa diajukan oleh konsumen atau ahli warisnya, atau sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama, atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, atau pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit (Pasal 46 Angka (1) UU 8/1999).
Jika Saudara dalam memilih developer tersebut karena tertarik atas surat penawaran atau brosur melalui iklan promosi yang diberikan, namun hasil yang didapat tidak sesuai seperti yang dijanjikan, maka ketentuan Pasal 8 Angka (1) Huruf (f) UU 8/1999 dapat diberlakukan, yaitu bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 UU 8/1999 terdapat di dalam Pasal 62 Angka (1) UU 8/1999, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah).
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.