Kisah Bripka Sandry Pejuang Pendidikan untuk Warga di Sorong

Audrey Santoso - detikNews
Selasa, 10 Okt 2023 12:45 WIB
Foto: Bhabinkamtibmas Klawasi, Bripka Sandry Yusuf Rantedatu, menjadi pejuang pendidikan yang berperang melawan buta aksara warga Kelurahan Klawasi, Sorong Barat Papua Barat. (dok. istimewa)
Jakarta -

Bhabinkamtibmas Klawasi, Bripka Sandry Yusuf Rantedatu, menjadi pejuang pendidikan yang berperang melawan buta aksara warga Kelurahan Klawasi, Sorong Barat Papua Barat. Polda Papua Barat mengusulkan Bripka Sandry sebagai polisi inovatif Hoegeng Corner.

Bripka Sandry adalah pencetus Rumbai Koteka, program belajar baca, tulis, dan hitung (calistung) bagi warga yang putus sekolah dan buta aksara di Klawasi. Program ini dirintis Bripka Sandry sejak 2017 silam, dan kini menjangkau 900 warga Kota Sorong.

"Jadi program ini memang saya buat di awal 2017, tepatnya 10 Januari 2017. Rumbai Koteka ini sendiri sebenarnya dulu namanya tidak Rumbai Koteka," kata Bripka Sandry kepada detikcom, Senin (9/10/2023).

Ratusan kasus pidana yang terjadi di Kelurahan Klawasi menjadi awal mula Bripka Sandry menaruh perhatian pada kualitas pendidikan warga. Yang mengusik hati Bripka Sandry, pelaku kejahatan dan gangguan keamanan, ketertiban masyarakat (kamtibmas) di antaranya anak-anak.

"Saya bergabung dengan Bhabinkamtibmas di 2016, saya ditugaskan di Sorong Barat, Kelurahan Klawasi. Di Klawasi, tingkat kriminalitasnya sangat tinggi, dan masuk dalam peta kerawanan masuk daerah merah walaupun dia di pinggir kota," ucap Bripka Sandry.

"Salah satu penyumbang tingkat kejahatan yang tinggi bukan hanya dari pelaku orang dewasa, tetapi juga dari anak-anak. Saya kemudian mencari tahu yang melatarbelakangi masalah ini, sampai anak-anak jadi penyumbang konflik," sambung dia.

Foto: Bhabinkamtibmas Klawasi, Bripka Sandry Yusuf Rantedatu, sosok di balik program Rumbai Koteka. (dok. istimewa)

Hasil analisis Bripka Sandry saat itu adalah tingginya angka buta aksara dan anak putus sekolah di Klawasi menjadi faktor anak-anak melakukan perbuatan menyimpang, bahkan kriminal. Faktor lainnya, lanjut Bripka Sandry, adalah anggapan 'jadi preman itu keren'.

"Lalu lebih dalam lagi bahwa ternyata banyak mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Jadi salah satunya itu, tidak mengenyam pendidikan formal. Kalau pun ada, mereka putus sekolah karena perekonomian rendah, faktor lingkungan yang memandang pendidikan tidak penting," tutur Bripka Sandry.

"Yang mengagetkannya lagi, stigma yang muncul di anak-anak, 'Kalau jadi preman sesuatu yang keren, akan lebih dihormati', itu anak-anak usia 9 tahun, ada yang 17, 21 tahun ndak sekolah. Ada yang umur 11 tahun sudah mencuri berulang kali dan lihai melakukan kejahatan itu," lanjut Bripka Sandry.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.




(aud/fjp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork