KPK Ingatkan Kades Tak Korupsi: Bisa Kita Sampaikan ke Kejaksaan dan Polisi

Mulia Budi - detikNews
Rabu, 16 Agu 2023 18:33 WIB
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Jakarta -

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pihaknya tidak pernah menangkap kepala desa (kades). Sebab, menurut Alex, hal itu tidak ada dasar hukum bagi KPK menangkap kepala desa.

"Tapi saya pastikan Bapak Ibu sekalian, KPK itu tidak pernah ya menangkap kepala desa atau lurah, saya pastikan itu, karena apa? UU KPK nggak memungkinkan," kata Alex dalam acara Peningkatan Kapasitas kepada Kepala Desa/Lurah Berprestasi Pemenang Lomba Desa/Kelurahan tahun 2023 di Gedung Juang lantai 3, Gedung KPK Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (16/8/2023).

Alex mengatakan KPK akan melakukan penindakan jika dana korupsi kepala desa melebihi Rp 1 miliar. Menurutnya, hal itu tidak mungkin terjadi lantaran dana desa juga sebesar Rp 1 miliar.

"Jadi bukan tidak ada, sifatnya UU KPK itu memang membatasi kewenangan. Kalau perkara yang ditangani KPK itu hanya kalau menyangkut penyelenggara negara, aparat penegak hukum dan kerugiannya di atas Rp 1 miliar. Kalau bapak ibu di desa itu sekarang ada dana desa itu rata-rata berapa itu, Rp 1 miliar ya. Nah itu kalau misalnya itu dikorupsi semua, ya mungkin baru KPK akan turun. Tapi kan nggak mungkin, diberikan Rp 1 miliar diambil semua," ujarnya.

Alex mengatakan salah satu penyebab para pejabat melakukan korupsi adalah untuk mengembalikan modal saat kampanye. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK bersama Kemendagri, menurut Alex, setiap calon yang ingin maju sebagai bupati atau wali kota harus menyiapkan anggaran Rp 20-30 miliar.

"Tapi sekali lagi, Bapak Ibu sekalian, persoalan korupsi secara umum tadi saya sampaikan, ini selalu diawali dari hasil pemetaan kami di KPK, kenapa banyak pejabat, penyelenggara negara ya termasuk mungkin juga kepala desa kemudian melakukan tindak pidana korupsi ternyata salah satunya apa? Karena biayanya, untuk menjadi pejabat itu mahal. Untuk menjadi anggota DPRD itu mahal, menjadi bupati, wali kota mahal, gubernur mahal, saya nggak tahu kalau untuk jadi presiden berapa," kata Alex.

"Paling tidak dari survei Kemendagri ya, itu bersama-sama KPK, saya sampaikan untuk jadi bupati atau wali kota, itu calon itu harus mengandarkan dana sekitar Rp 20-30 miliar, itu belum tentu menang loh, belum tentu menang. Kalau menang harus dilipatgandakan, karena apa? Dari survei kami di KPK, semakin besar anggaran yang dialokasikan itu kemungkinan menang itu semakin tinggi. Karena apa? Masyarakat kita, Bapak Ibu sekalian, itu cenderung memilih calon yang memberikan lebih gede dibanding yang lain," lanjutnya.

Dia mengatakan KPK mengusung tagline 'Hajar Serangan Fajar' untuk Pemilu 2024. Alex mengatakan KPK mendeteksi adanya fenomena 'bagi-bagi rejeki' jelang pemilu.

"Hajar serangan fajar karena kami mendeteksi Bapak Ibu sekalian, bahwa menjelang pencoblosan itu ya itu tadi, ada yang bagi-bagi rejeki, apalah istilahnya di situ, itu yang ditunggu masyarakat. Artinya apa bapak ibu sekalian? Kalau dari satu sisi aja demokrasi kita seperti itu, biayanya sangat mahal karena masyarakat juga menuntut dari calon itu untuk memberikan sesuatu, saya membayangkan apa jadinya ketika para calon anggota DPRD, calon kepala daerah ketika mereka kemudian terpilih dan mulai berhitung, kemarin saya keluar duit berapa, dibagi 60 bulan bapak ibu sekalian, karena 5 tahun menjabat," tuturnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Saksikan juga 'Saat Pengamat Kritik Perpanjangan Jabatan Kades: Rakyat Butuh Pupuk Murah':






(ygs/ygs)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork