Dalam hubungan pekerjaan, kadang ada perasaan sungkan sesama kolega. Namun bagaimana kolega melakukan penggelapan di perusahaan? Apakah kita tutup mata? Atau harus bagaimana?
Berikut pertanyaan pembaca:
Selamat pagi
Di perusahaan kami ada karyawan melakukan penggelapan penjualan obat dan ada juga karyawan yang mengetahui penggelapan itu tapi tidak melaporkan dan malah menerima traktiran/tidak secara langsung melakukan penggelapan.
Apa sangsi buat karyawan tersebut? terima kasih
Putu
Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Rr Yuliawiranti S, S.H., C.N., M.H. Berikut jawabannya:
Terima kasih pertanyaannya.
Bahwa perlu dijelaskan terlebih dahulu, apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang termasuk penggelapan atau tidak, bergantung pada apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana penggelapan itu sendiri. Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") yang berbunyi sebagai berikut:
"Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian. Bedanya adalah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus "diambilnya", sedang pada penggelapan, waktu dimilikinya barang itu sudah di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
Bahwa terlebih dahulu kita harus mengetahui mengenai pengertian saksi dan keterangan saksi menurut undang-undang. Berkaitan dengan saksi, hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih jelas lagi dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu:
"Saksi adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri."
Selanjutnya berkaitan dengan keterangan saksi, hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu."
Pada prinsipnya, menjadi saksi dalam suatu perkara pidana merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang yang dipanggil oleh aparat penegak hukum, mengingat pentingnya keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, pada Pasal 1 angka 1 diatur juga pengertian "saksi":
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, pada Pasal 1 angka 4 diatur juga pengertian "Pelapor":
Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.
Bahwa berkaitan mengenai setiap orang yang mengetahui adanya niat untuk melakukan suatu tindak pidana, hal ini diatur dalam Pasal 165 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :
"Barang siapa mengetahui ada niat untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108, 110 - 113, dan 115 - 129 dan 131 atau ada niat untuk lari dari tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam bab VII dalam kitab undang-undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 224, 228, 250 atau salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
..kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi, jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan.Penyuluh BPHN Rr Yuliawiranti |
Jadi dalam hal ini adalah kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi, jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan, walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan. Hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan, karena jika tidak diberitahukan segera maka orang tersebut dapat dikatakan memberi kesempatan pada seseorang untuk melakukan kejahatan.
Bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban diatur bahwa:
Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban diatur bahwa:
Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Kesimpulan:
Klien sebaiknya memastikan terlebih dahulu bahwa apa yang sudah dilakukan oleh salah satu karyawannya adalah suatu tindak pidana penggelapan, artinya perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana itu sendiri. Jika klien sudah yakin bahwa itu termasuk tindak pidana penggelapan, laporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini kepolisian untuk ditindaklanjuti dengan syarat klien harus memiliki alat bukti yang sah dan kuat. Kepada karyawan yang diduga mengetahui penggelapan tersebut, tapi tidak melaporkan, maka terhadap karyawan tersebut, disarankan pendekatannya dilakukan secara persuasif dan baik-baik terlebih dahulu agar karyawan tersebut dengan sukarela mau menjadi saksi atas dugaan penggelapan yang dilakukan oleh salah satu karyawan di perusahaan tempat klien bekerja.
Karena berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang telah dijelaskan di atas, diatur bahwa Saksi berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, dan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Jadi UU Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan jaminan perlindungan terhadap saksi, sehingga seorang saksi tidak perlu khawatir dan takut untuk memberikan kesaksiannya di hadapan aparat penegak hukum.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.
Terima Kasih.
Rr Yuliawiranti S, S.H., C.N., M.H.
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham,
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)