Mahkamah Konstitusi (MK) meminta politikus PDI Perjuangan, Ong Yenny mempertajam argumen soal gugatat kampanye di tempat ibadah. Ikut bergabung menggugat warga Jakarta, Handrey Mantiri.
"Coba ini argumentasinya diperkuat bahwa pada waktu penyelenggaraan pemilu sebelumnya apakah ada potensi penyalahgunaan di situ atau mungkin ada beberapa contoh yang bisa meyakini hakim nanti dalam kasus-kasus konkret terkait adanya kontradiksi antara isi pasal dan penjelasan yang berdampak pada hal-hal yang dikhawatirkan oleh pemohon," kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh sebagaimana dilansir website MK, Jumat (7/7/2023).
Selain itu, Daniel juga menyarankan para pemohon untuk menguraikan pembahasan atau pemikiran-pemikiran yang berkembang pada waktu pembahasan norma ini maupun penjelasannya untuk bisa meyakinkan hakim.
"Untuk memperkuat bangunan argumentasi, menurut saya, perlu juga dilakukan penelusuran misalnya bisa dari buku, jurnal atau karya tulis lain untuk bisa memperkuat argumentasi ini supaya permohonan ini dapat meyakinkan hakim," terang Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta para Pemohon untuk memperbaiki petitum berpedoman kepada Pasal 10 PMK 2/2021.
"Saudara ini tolonglah baca PMK 2/2021 Pasal 10. Ini kan cara merumuskan petitum kan tidak seperti ini. Jadi menyatakan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h dan seterusnya bertentangan dengan UUD 1945 gak usah saudara jelaskan pasal-pasalnya. Karena sudah ada di posita dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga dinyatakan dihapus. Jadi nanti tolong saudara perhatikan terkait PMK 2/2021," jelas Enny.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ong Yenny menggugat bersama warga Jelambar, Jakarta Barat, Handrey Mantiri. Ong Yenny menyatakan tempat ibadah dilarang tegas oleh Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang berbunyi:
Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Namun, norma di atas dibiaskan dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sehingga multitafsir. Penjelasan itu berbunyi:
Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Oleh sebab itu, Ong Yenny meminta Penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu dihapus.
"Menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, sehingga dinyatakan dihapus," demikian bunyi petitum Ong Yenny-Handrey dalam berkas gugatan yang dilansir website MK, Minggu (11/6/2023).
Menurut Ong Yenny, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h telah melanggar ketentuan yang diatur di UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di mana dinyatakan bahwa:
...penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
2) Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
3) Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
4) Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
5) Tidak memuat rumusan pendelegasian.
"Dengan diperbolehkannya berkampanye menggunakan fasilitas pemerintah akan berpotensi Pemerintah tidak akan netral kepada semua peserta Pemilu, karena bagaimanapun Pemerintah khususnya Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih oleh Rakyat yang pencalonannya diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Sehingga dengan dibukanya peluang bagi Presiden, Gubernur, Walikota atau Bupati untuk mengundang salah satu peserta kampanye di fasilitas Pemerintah, maka dikhawatirkan yang akan diundang hanyalah peserta pemilu dari partai politik pengusung dan pendukungnya saja," ucap Ong Yenny yang memberikan kuasa kepada Tim Hukum BSPN Pusat PDI Perjuangan.
Menurut Ong Yenny, Pemilu yang bebas dan jujur mustahil dapat terjadi bila prosedur mengikuti tahapan pemilu khususnya tahapan kampanye dilakukan di tempat-tempat yang memberi peluang terjadinya diskriminasi atas dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Mengadakan kampanye politik di tempat-tempat keagamaan seperti gereja atau masjid atau vihara, dan lain-lain, bisa jadi membuat sebagian masyarakat enggan mengikuti pemilu karena perbedaan iman.
"Apalagi penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu membatasi hanya kepada peserta yang diundang oleh penanggung jawab fasilitas tersebut," katanya.
Menurut Ong, beberapa orang kelompok masyarakat mungkin merasa tidak nyaman atau percaya bahwa mencampuradukkan agama dan politik dengan cara seperti itu tidak layak karena dapat dianggap tidak menghormati kesucian lembaga keagamaan. Demikian pula penggunaan fasilitas umum sebagai tempat kampanye hanya menjadi tempat mereka yang berkuasa di daerah itu.
"Akibatnya dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap proses politik. Dengan demikian, kampanye pemilu perlu diadakan di ruang-ruang yang netral dan non-religius untuk mendorong partisipasi maksimal dari seluruh anggota masyarakat," pungkasnya.
Simak juga 'Saat Bawaslu Kembali Tegaskan Kampanye di Tempat Ibadah Dilarang':
(asp/zap)