Komnas HAM menyurati kampus negeri di Sumatera Barat untuk mengusut dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap mahasiswa di sebuah politeknik di Sumatera Barat yang viral terkait magang ke Jepang. Komnas HAM mengirim surat dengan mempertanyakan terkait prosedur pemberangkatan mahasiswa tersebut.
"Kita sudah diminta oleh pusat untuk meminta keterangan dari pihak kampus dan kita sudah melakukan hal itu. Kita sudah melakukan hal itu dan sudah meminta keterangan kepada pihak kampus dengan meminta, yang pertama, meminta memberikan keterangan tentang mekanisme, prosedur, dan regulasi terkait pelaksanaan program pengiriman mahasiswa yang magang di luar negeri," kata Kepala Kantor Sekretariat Perwakilan Komnas HAM Provinsi Sumatera Barat Sultanul Arifin dalam konferensi pers yang bertajuk 'Situasi HAM di 6 Kantor Sekretariat Komnas HAM' yang disiarkan secara daring di YouTube Komnas HAM, Selasa (4/7/2023).
Komnas HAM Sumbar juga meminta kepada pihak kampus memberikan dokumen-dokumen terkait pelaksanaan program pengiriman mahasiswa magang di luar negeri, dan meminta pihak kampus memberi keterangan tentang permasalahan yang timbul terkait pelaksanaan program pengiriman magang mahasiswa politeknik negeri di Sumbar ke luar negeri yang saat ini sedang disidik Polri.
Selain itu, Komnas HAM Sumbar juga meminta pihak kampus menjelaskan tentang upaya yang telah dilakukan pihak kampus untuk memberi pertolongan kepada mahasiswa yang menjadi korban dalam kasus tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, Komnas HAM juga meminta penjelasan kepada kampus terkait upaya untuk mencegah kasus serupa di kemudian hari.
Komnas HAM menyebut surat permintaan keterangan itu sudah dikirimkan kepada kampus tersebut, tapi belum mendapatkan balasan. Komnas HAM Sumbar akan berkoordinasi kepada kantor pusat Komnas HAM apabila telah menerima keterangan dari pihak kampus tersebut.
"Kita sudah melayangkan surat permintaan keterangan. Saat ini kita dalam posisi menerima atau menunggu surat jawaban atas permintaan keterangan kita sebagaimana dimaksud. Apabila keterangan-keterangan itu sudah kita dapat, kita akan sampaikan di pusat untuk berkoordinasi," katanya.
"Karena saya diinformasikan bahwa kita bagi tugas terkait permintaan keterangan ini dilakukan oleh Komnas HAM Sumbar, kemudian terkait penyelesaian yang di pusat akan ada koordinasi antara Komnas HAM pusat dengan Kemenristekdikti dan juga berkoordinasi dengan Bareskrim Polri," sambungnya.
Dalam acara tersebut, Komnas HAM Sumbar juga menyampaikan ada beberapa kasus HAM yang menonjol di Sumbar, diantaranya konflik agraria atau konflik perkebunan kelapa sawit dengan perusahaan dan pemerintah daerah, konflik sumber daya alam di sektor pertambangan, adanya laporan terkait dugaan kasus kekerasan oleh aparat penegak hukum, dan adanya laporan dugaan kasus pelanggaran HAM dalam penetapan, penangkapan dan penahanan karena terjadi dugaan penyiksaan.
Bareskrim Ungkap Kasus TPPO Modus Magang ke Jepang
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus program magang ke Jepang. Kasus tersebut melibatkan salah satu politeknik di Sumatera Barat.
"Selama satu tahun, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang, akan tetapi bekerja seperti buruh," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023).
Djuhandhani mengatakan pengungkapan kasus berawal dari laporan korban berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Jepang. Dalam laporannya, Djuhandhani menerangkan korban bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh politeknik dengan dalih program magang di perusahaan Jepang.
Djuhandhani menjelaskan kasus TPPO tersebut bermula ketika para korban mendaftarkan diri untuk mengikuti program magang pada 2019. Para korban yang telah mendapatkan 'persetujuan' dari EH selaku direktur di Politeknik tersebut kemudian diberangkatkan dengan menggunakan visa pelajar, yang berlaku selama 1 tahun dan diperpanjang dengan visa kerja selama 6 bulan.
Bukannya diarahkan untuk belajar sambil bekerja, Djuhandhani mengatakan para korban malah dipaksa bekerja selama selama 14 jam atau sejak pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam. Para korban juga diharuskan bekerja selama tujuh hari dalam seminggu tanpa libur.
"Di mana dalam aturan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 19 yang isinya untuk pembelajaran 1 SKS seharusnya 170 menit per minggu dalam satu semester," jelas dia.
Lebih lanjut, Djuhandhani menuturkan korban juga diharuskan menyetorkan dana kontribusi kepada pihak kampus sebesar 17.500 yen atau setara dengan Rp 2 juta. Uang setoran tersebut diambil oleh EH dari total pendapatan mahasiswa yang mencapai 50 ribu yen atau setara Rp 5 juta per bulannya.
Djuhandhani mengatakan sejumlah korban sempat meminta dipulangkan ke Indonesia setelah kontraknya selesai. Namun, lanjutnya, korban justru diancam akan di-drop out apabila kerja sama dengan pihak perusahaan Jepang rusak.
(yld/dhn)