Hengki menjelaskan, lantaran dualisme tersebut, Tonny kemudian membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3SRS) GCM. P3SRS itu membawahkan kurang lebih 200 kepala keluarga.
"Diawali adanya dualisme kepemimpinan dan kemudian adanya pembentukan P3SRS GCM oleh Pak Tonny Soenanto dan di sini pembentukan ini dianggap oleh kepengurusan yang lama tidak kuorum dan melanggar AD dan ART," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hengki menjelaskan, akibat dualisme kepengurusan itu, warga lama tetap dikenai iuran melalui PT Duta Pertiwi, begitupun dengan warga baru. Namun kemudian listrik dan air untuk warga dipadamkan lantaran diduga tidak dibayarkan oleh pengurus.
"Kemudian terjadi pemadaman listrik bahwa dalam perkembangannya sejak adanya RULB ini bahkan setelah adanya SK Kepala Dinas Perumahan dan kawasan pemukiman Nomor 591, 592 dari kepengurusan Pak Tonny Soenanto ini mengumumkan agar membayarkan IPL listrik dan air kepada mereka terhadap 200 orang ini," ujar dia.
"Warga sebagian membayarkan kepada PTRS ini, namun fakta pemeriksaan kami PLN ataupun listrik sama sekali tidak pernah dibayar. Ini yang menjadi akar permasalahan yang terjadi selama kurun waktu 2014 sampai dengan saat ini. Listrik sama sekali tidak dibayar dan ini sudah diakui juga oleh pengurus bahwa hanya membayar air saja. Nah ini yang menjadi akar permasalahan sehingga menjadi konflik di apartemen ini," imbuh Hengki.
(amw/lir)