Dibandingkan dengan Operasi Woyla pada Maret 1981 dan Operasi Mapenduma (1996), tiga sukses pembebasan sandera di Papua pada 1978 nyaris tanpa apresiasi berarti dari para pemangku kepentingan. Pemerintah, juga para petinggi ABRI di Jakarta kala itu seolah menyikapinya sambil lalu. Juga nyaris tanpa gegap gempita liputan media.
"Padahal operasi Sandhy Yudha yang saya pimpin kala itu tak memuntahkan satu butir peluru pun, juga tanpa tetesan darah. Saya tak bermaksud membanggakan diri, tapi silahkan bandingkan dengan dua operasi yang lain," kata Mayjen TNI (Purn) Samsudin saat berbincang dengan detik.com, Kamis (16/3/2023).
Ia menuangkan lika-liku pengalamannya membebaskan para sandera dari sarang OPM ke dalam buku bertajuk, 'Memburu Cipta, Rasa, dan Karsa'.
Merujuk buku 'Operasi Woyla' karya Bambang Wiwoho, ada dua korban dalam operasi yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan kala itu, yakni Kapten Pilot Garuda Herman Rante dan anggota Koppasandha Lettu Achmad Kirang, serta enam orang pembajak yang menyandera para penumpang.
Operasi Mapenduma yang dipimpin Brigjen Prabowo Subianto pun menelan korban, yakni dua sandera Matheis Yosias Lasembu (peneliti ornitologi) dan Navy W. Th. Panekenan (ahli biologi). Keduanya tewas dibacok OPM saat penyerbuan ke sarang penyandera berlangsung, dan 8 OPM tewas diterjang peluru.
Sebulan sebelumnya, rencana operasi diwarnai insiden berdarah. Pada 15 April 1996, Letnan Sanurip, sniper Kopassus, menumpahkan peluru secara membabi buta. Akibatnya Komandan Detasemen '81 Letkol Adel Gustinigo, 4 warga sipil, dan pilot Twin Otter berkebangsaan Selandia Baru. Juga melukai 10 tentara lainnya dan tiga warga sipil.
Pasca Operasi Woyla, menurut Samsudin yang biasa disapa 'Mang Udin' oleh para koleganya, mereka yang terlibat mendapat penghargaan kenaikan pangkat luar biasa dan dianugerahi Bintang Sakti. Anggota yang gugur diberi kenaikan dua tingkat dari pangkatnya semula.
Karena itu berpuluh tahun kemudian, ia yang pernah menjadi komisioner Komnas HAM, 1997-2007, menuntut agar anak buah, kolega, dan orang-orang sipil yang terlibat dalam operasi pada 1978 mendapatkan hak yang sama. Soal bentuk penghargaan atau apresiasi yang akan diberikan ia menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
"Saya sudah berbicara dengan Menhankam Prabowo Subianto, Panglima Andhika Perkasa, dan menyurati KSAD mengenai hal tersebut. Tapi saya kecewa sekali karena setelah tujuh bulan kok belum ada realisasinya," kata Samsudin.
Dalam surat "Permohonan Penghargaan" yang ditujukan kepada Menhan, Panglima TNI, dan KSAD bertanggal 15 Agustus 2022, ada 16 nama yang menurut penilaiannya berhak mendapatkan apreasi karena telah menunaikan misi kemanusiaan di Papua. Bukan semata-mata menjalankan tugas rutin sebagai anggota ABRI. Mereka antara lain Kolonel Ismail, Letkol Fajar Admiral, Kapten Zacky Makarim, Kapten Hasyim Mangga, Kapten Arifuddin, Kapten Henky Cs, serta pilot dan kopilot helikopter Lettu Isa Mangun dan Letda Karno Wijaya.
Dari kalangan sipil ada Ketua DPRD Irian Jaya W. Maloali, Kepala Pusroh Katolik Kodam Cendrawasih Pater Alyosius Ombos OFM, Mathias Tabu, dan Frans Leo. "Jadi apa yang saya perjuangkan bukan untuk pribadi saya. Sama sekali tidak," tegas Samsudin.
Kenapa orang-orang sipil diperjuangkan untuk mendapatkan apresiasi atau tanda jasa, ia merujuk kasus pembebasan sandera ABK oleh Kelompok Abu Sayyap di Filipina pada 2016. Kala itu operasi pembebasan melibatkan mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
"Saya tahu ada 10 orang sipil dari Filipina yang terlibat dalam operasi juga mendapat penghargaan dari pemerintah," kata Samsudin.
Permohonan Samsudin itu mendapat dukungan dari Pepabri (Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri. "DPP Pepabri sangat mengharapkan perhatian dan kebijakan untuk dapat memberikan tanda penghargaan kepada Pasukan Pembebasan Sandera di bawah pimpinan Mayjen TNI (Purn) Samsudin NRP 18473 sesuai dengan kesaksiannya yang tertulis dalam buku 'Memburu Cipta, Rasa, dan Karsa'," demikian surat yang ditandatangani Ketua Umum Pepabri Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar dan Sekjen Pepabri Komjen Pol (Purn) Yun Muyana pada 8 Agustus 2022.
Lelaki kelahiran Tanjung Balai, Asahan Sumatera Utara, 27 Desember 1937 itu masih terlihat bugar. Kecuali tongkat kecil dari logam yang digenggam dengan tangan kanannya saat akan berdiri, tak ada yang berubah dari penampilan fisik Mayjen TNI (Purn) Samsudin.
Tubuhnya masih ramping, model rambut kepala cepak, dan gaya bicaranya lugas. Sepintas ekspresi wajahnya keras, dingin. Seperti tak punya sense of humor. Tapi selama satu jam berbincang, beberapa kali dia melontarkan jokes yang membuat kami terbahak-bahak.
"Saya pakai tongkat sejak dua tahun lalu setelah operasi usus buntu," ujar Samsudin yang mengaku menulis buku dengan tulis tangan dan menghabiskan satu rim kertas HVS.
Pada bagian lain, Mayjen Samsudin juga berharap buku yang ditulisnya menjadi bahan kajian di kesatuan-kesatuan khusus TNI. Juga di sekolah perwira, Sesko, maupun Lemhanas. "Silahkan generasi muda di TNI mempelajari apa paengalaman baik yang pernah kami lakukan untuk dijadikan pembelajaran. Apa yang jelek tentu jangan diterus-teruskan," kata Samsudin.
Simak juga 'Pilot Susi Air: Saya Akan Dilepas Usai Papua Merdeka':
(jat/maa)