Sepucuk surat bertanggal 3 Juni 1978 diterima Pangdam Cendrawasih Brigjen Imam Moenandar dan Asisten Operasi Kodam Cendrawasih Letkol Samsudin. Pengirimnya Danrem Abepura Kolonel Ismail yang sejak 16 Mei 1978 disandera Kakak-Beradik pentolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Marthin Tabu dan Mathias Tabu. Pesannya antara lain tuntutan dari kedua penyandera agar dikirimi 3 pucuk pistol dan 300 butir peluru sebagai tebusan.
"Sialan! Apa maunya si Marthin Tabu. Sebelumnya dia berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan damai, sekarang malah minta senjata," Samsudin mengumpat seperti ditulisnya dalam buku "Memburu Cipta, Rasa, dan Karsa".
Buku setebal 414 halaman itu diterbitkan RAS (Raih Asa Sukses) pada Juni 2022. "Saya tulis tangan selama setahun, menghabiskan satu rim kertas," kata Samsudin saat berbincang dengan detikcom, Kamis (16/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa staf Kodam tegas menolak permintaan tersebut karena menyangkut prestise Kodam. Tapi ada juga yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keselamatan Ismail. Ternyata Pangdam memilih opsi memenuhi tuntutan OPM.
Hingga sebulan kemudian Ismail tak kunjung dilepaskan. Marthin dan Mathias terus mengulur waktu dan menyampaikan berbagai alasan yang menjengkelkan. Toh begitu, sebagai perwira yang ditugaskan untuk membebaskan para sandera, Samsudin terus melanjutkan negosiasi. Setiap hari dia melakukan kontak komunikasi lewat radio untuk memastikan kondisi para sandera baik-baik saja.
Komandan Grup I Kopassus, 1973 - 1975, itu telah berketetapan untuk menjalankan Operasi Sandhi Yudha ketimbang Operasi Militer. Model Operasi Intelijen Penggalangan dan Klandestin pernah diajarkan langsung oleh Brigjen Wijoyo Soeyono di Cijantung tapi belum pernah dipraktikan.
![]() |
Samsudin yakin operasi ini sangat mungkin dilakukan karena kontak komunikasi dengan Marthin dan Mathias tetap terjalin. "Dari nada suara dan gaya bahasanya tidak ada permusuhan, bahkan mereka seperti menyesal telah menyandera Pak Ismail dan rombongan," tutur Samsudin.
Sejatinya, antara Ismail dan Dandim Jayapura Letkol Moehadi terjalin hubungan yang sangat baik dengan kedua pentolan OPM tersebut. Marthin dan Mathias pernah turun gunung, menyatakan insaf untuk kembali ke pangkuan NKRI pada akhir 1977. Tapi setelah tiga bulan keduanya menyatakan kecewa karena pembangunan di kampung halamannya tak kunjung dipenuhi pemerintah. Mereka pun akhirnya kembali masuk ke hutan.
"Selain itu memang ada rumor bahwa mereka pada saatnya akan dieksekusi oleh ABRI," kata Samsudin.
Di luar itu, dia melanjutkan, ada oknum intelijen ABRI yang bergerak di luar jalur Operasi Sandhy Yudha. Akibatnya mereka makin curiga. Isu Marthin dan Mathias akan dihabisi seolah mendapatkan konfirmasi.
Siapa sebenarnya Eusibius Marthin Tabu? Menurut Samsudin, ayah Marthin kepala suku Tabu di Aurina Kerom, Kecamatan Lereh - Jayapura. Ayahnya juga seorang camat. Marthin cuma lulus SD dan pernah bercita-cita menjadi Pastor. Ia pernah menjadi Koster di Gereja Katedral Dok V Jayapura. Lalu menjadi penginjil di sekitar Kecamatan Aro dan Lereh.
"Tapi ketika akan dipindahkan ke kecamatan lain dia menolak dan memilihi mengadu nasib ke Kota Jayapura," ujarnya.
Kepada Majalah Tempo edisi 5 Mei 1984, Marthin mengklaim dirinya setara dengan Obahorok yang menguasai wilayah Wamena. Wilayah kekuasaannya mencakup Jayapura hingga perbatasan Papua Nugini.
Dia menjadi OPM sejak 1969 karena menolak rencana program transmigrasi yang dianggapnya akan merampas tanah dan menyerobot hutan Papua, serta Islamisasi. "Itu yang dikabarkan Jacob Pray dan Seth Jafeth Rumkorem," ujarnya.
Jacob yang menjabat Presiden OPM pernah kuliah di Universitas Cendrawasih. Sementara Seth lulusan Sekolah Calon Perwira TNI-AD. Dia berasal dari Biak dan cenderung berhaluan kiri.
Lewat negosiasi berliku, Kolonel Ismail akhirnya dibebaskan pada 1 Juli 1978. Tapi beberapa hari sebelumnya pihak OPM kembali meminta senjata berikut pelurunya. Terkait tuntutan kali ini Samsudin sampai harus berkomunikasi langsung dengan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo untuk mendapatkan persetujuan.
"Berikan senjata yang sudah tua atau sudah tidak berfungsi dengan baik," perintah Sudomo. Tak cuma itu, Samsudin meminta stafnya agar senjata-senjata yang akan dikirim ke penyandera direndam di air garam.
Tiga hari setelah Kolonel Ismail bebas, Samsudin bersama empat pengawal menemui langsung pihak OPM di sarang mereka untuk membahas pembebasan tiga sandera lainnya. Berkarton-karton bir, sarden, kornet, rokok, beras, kapur, sirih, dan pinang menjadi oleh-oleh yang dibawanya. Tapi pihak OPM kembali berulah. Mereka meminta diberi 20 pucuk AK-47 berikut ratusan peluru.''
Lihat juga Video 'Gedung SMP di Yahukimo Papua Dibakar, Ulah KKB?':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
![]() |
Kali ini Samsudin benar-benar emosi dibuatnya. "Saya datang kemari untuk mendengar tuntutan masyarakat Kerom tentang pembangunan. Tapi kalau minta senjata, artinya Pak Marthin masih menganggap kami sebagai musuh," kata lelaki kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara, 27 Desember 1937 itu mendamprat Mathias dan para pengikutnya.
Di kali lainnya lagi mereka meminta uang tunai Rp 250 juta. Entah untuk apa. Tapi yang disepakati kemudian, Samsudin menggelar pengobatan bagi ratusan warga yang sakit. Juga membangunkan rumah, gereja, dan sekolah bagi mereka. Semua dilakukan demi merajut kembali kepercayaan mereka.
Dalam kunjungan yang lain Samsudin menjalankan trik khusus. Dia menyelipkan majalah porno untuk Mathias Tabu. Majalah itu diterima dan langsung dibolak-baliknya seolah tanpa berkedip. "Pak Mathias, yang seperti di majalah itu banyak di Jayapura," bisik Samsudin memancing. Mathias mesam-mesem lalu terkekeh-kekeh kecil. Beberapa hari kemudian dia benar-benar minta diantarkan ke Jayapura.
Sebelumnya, Yurgen Sawor yang merupakan orang kepercayaan Marthin Tabu juga telah berhasil ditundukkan. Dia jatuh hati kepada Yuliana, perawat yang terlibat dalam pengobatan massal.
Di luar itu semua, ada satu langkah yang penuh risiko dilakukan Samsudin dalam upaya membangun kepercayaan dari pihak OPM. Suatu hari dia mengajak Mathias Tabu ke Jayapura. Untuk menenteramkannya Samsudin sengaja meminjamkan pistol Colt-38 laras pendek dengan empat peluru. Pistol itu dibelinya dari seorang perwira yang pernah bertugas ke Vietnam seharga Rp 50 ribu. Sebaliknya Mathias berjanji tidak akan membiki susah Samsudin.
Kali lain, dalam upaya membebaskan Camat Waris yang disandera kelompok OPM di perbatasan Papua Nugini, Samsudin melibatkan Mathias Tabu. Juga Kapten Zacky Makarim dan Kapten Hasyim Mangga. Suatu hari, helikopter yang mereka tumpangi harus mendarat darurat karena cuaca buruk.
Tapi Mathias justru mengira hal itu bagian dari skenario Samsudin dan kawan-kawan untuk membunuhnya seperti pernah dilakukan terhadap tokoh OPM sebelumnya. Melihat gelagat Mathias Tabu yang gelisah dan diperkirakan akan kabur ke hutan, Samsudin mendekat dan menyerahkan pistol kepadanya.
"Itu merupakan sugesti sebagai bagian dari upaya membangun trust," kata Samsudin.
Selain itu, Samsudin juga pernah merawat putra Mathias Tabu yang baru lahir. Sebab si ibu meninggal tak lama setelah proses persalinan berlangsung. Dia menamakan anak itu, Slamet. Sayang, di usia 5 tahun Slamet meninggal dunia karena kecelakaan.
Singkat cerita, lewat negosiasi yang berliku, menguras energi dan kesabaran, pada 30 Agustus Letkol Fajar Admiral dibebaskan. Akibat siksaan di awal penyanderaan, Admiral sempat lumpuh. Sementara Maloali dan Pater Ombos baru dapat dijemput pada 8 September 1978. Keduanya disandera di daerah terpisah, dekat perbatasan Papua Nugini.