Bripka Madih mengaku masih membayar pajak atas girik C 191 di Jatiwarna, Kota Bekasi, yang menjadi sengketa. Pihak kelurahan mengungkap faktanya.
Sekretaris Lurah Jatiwarna, Kustara, mengatakan pihaknya tidak menerima pembayaran girik 191 yang diklaim Madih. Sebab, kini sistem pembayaran sudah berbeda.
"Tidak betul (Bripka Madih membaur girik). Karena sudah pakai sistem PBB itu sudah pakai girik. Kalau 191 adalah girik itu tidak bisa dibayarkan pajaknya, karena sudah berubah sistem," kata Kustara saat dihubungi, Rabu (8/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kustara menyebutkan, setiap tahunnya Bripka Madih hanya membayarkan PBB lahan seluas 500 meter persegi dengan nominal Rp 1.396.500. Sementara lahannya yang dipermasalahkan olehnya adalah seluas 1.600 meter persegi.
"Ini membayar pajak dasar SPPT PBB yang luasnya 500 meter persegi pada tahun 2022 yang tahun ini belum bayar. Kemudian Pak Madih ini dikenakan pajaknya per tahun Rp 1.396.500 itu sudah bayar sampai tahun 2022 tinggal yang belum bayar 2023," tuturnya.
Kustara mengatakan, dengan diubahnya sistem tersebut, kini pembayaran pajak langsung masuk ke dalam rekening pemerintah.
"Dulu dari tahun 2009 ke sono mungkin masih bisa. Tapi setelah pajak bumi dan bangunan (PBB) itu menjadi PAD (pendapatan asli daerah) dilimpahkan ke badan pendapatan daerah (Bappeda). Nah Bappeda membuat sistem dalam rangka pembayaran pajak bumi dan bangunan buat masyarakat Kota Bekasi agar pajaknya langsung masuk ke rekening pemerintah kota Bekasi," jelasnya.
Bripka Madih Ngaku Masih Bayar Pajak
Bripka Madih mengaku tanah milik orang tuanya diserobot oleh sebuah perusahaan. Menurutnya, tanah milik orang tuanya itu dibeli dengan cara melawan hukum. Ia juga mengklaim ada beberapa akta jual beli (AJB) yang tidak sah karena tidak disertai cap jempol.
"2011 itu setelah pemeriksaan berkas-berkas, kita sangkal di situ ada surat pernyataan bahwa tempat yang ditempatin itu dibeli dari calo-calo. Terus ada akta-akta yang nggak (dicap) dijempol. Ini kan murni kekerasan, penyerobotan, kok bisa timbul akta?" kata Madih mempertanyakan, seperti dilansir dari 20detik, Sabtu (4/2).
Saat diminta mengusut, penyidik dari Polda Metro Jaya berinisial TG, yang saat ini sudah purnatugas, meminta 'uang pelicin'. Kata Madih, TG meminta kepada dia uang Rp 100 juta serta sebidang tanah seluas 1.000 meter persegi.
"Makanya ane bilang waktu itu kita diminta dana penyidikan dan hadiah, ya terlalu miris. (Permintaannya) Rp 100 juta sama (lahan) 1.000 meter," ujarnya.
Padahal, lanjut dia, dalam hal ini dirinya merasa dirugikan dengan kasus sengketa tanah milik orang tuanya tersebut. Sebab, ada tindakan penyerobotan tanah yang dilakukan pihak lain. Kendati sudah diserobot, Madih mengaku masih harus membayar pajak tanah tersebut," jelasnya.
"Ane ini korban karena yang terserobot ini 6.500 (persegi), 6.500 itu kan besar nilainya. Dan kita masih bayar pajak, masih ada giriknya, masih utuh giriknya. Di girik 191 jumlahnya 4.411, yang diserobot 3.600-an, kita menguasai 1.800-an. Yang saat ini di girik 815 jumlahya 4.954, sekarang kita menguasai 2.000, yang 2.954, dikuasi sama PT," jelasnya.
Simak Video 'Buntut Curhat soal Pemerasan, Bripka Madih Kini 'Diserang' Balik':
Baca selanjutnya: polisi bingung....
Polisi Bingung Soal Laporan Sengketa Lahan
Polda Metro Jaya mengungkapkan, Bripka Madih membuat laporan polisi di Polres Metro Bekasi Kota terkait dugaan perusakan pohon rambutan. Pohon rambutan itu berdiri di atas lahan yang diklaim adalah milik orang tuanya di Jatiwarna, Kota Bekasi.
"Ada lagi laporannya Bripka Madih lagi di Polres Bekasi dan kami akan backup, yaitu terkait perusakan atas barang, yakni objeknya adalah Bripka Madih menyampaikan di tempat tersebut terjadi perusakan terhadap pohon rambutan yang notabene berdiri di atas lahannya seluas 4.411 meter persegi," jelas Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (7/1/2023).
Polisi dibuat bingung atas laporan Bripka Madih tersebut. Sebab, lokasi yang dilaporkan terkait perusakan pohon rambutan ini adalah objek lahan yang sama yang sebelumnya dilaporkan oleh orang tua Madih ke Polda Metro Jaya pada 2011.
Yang mana, dalam laporan polisi terkait sengketa lahan yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya itu, dituliskan luas tanah adalah 1.600 meter persegi. Akan tetapi, pada laporan polisi di Polres Metro Bekasi Kota, Madih melaporkan perusakan pohon rambutan itu terjadi di tanahnya seluas 4.411 meter persegi, padahal objeknya adalah sama.
"Nah, ini kan jadi bingung lagi kita, karena kan sebelumnya (melaporkan) 1.600 meter persegi," kata Hengki.
Di sisi lain, Bripka Madih juga dilaporkan oleh warga Jatiwarna, Kota Bekasi, atas dugaan memasuki pekarangan tanpa izin. Hengki mengatakan pihaknya masih mendalami laporan masyarakat tersebut, apakah memang warga tersebut memiliki legal standing yang kuat dalam pelaporan tersebut.
"Dari masyarakat, catatan ya bukan perumahan ya, ini warga masyarakat kampung di situ juga melaporkan Bripka Madih terkait dengan Pasal 167 (KUHP) memasuki pekarangan tampa izin dan nanti konstruksinya berkembang menjadi perbuatan tidak menyenangkan karena membawa kelompok massa. Kita juga akan cek masyarakat ini, apakah masyarakat ini punya legal standing atau alas hak untuk menuntut Bripka Madih," tuturnya.
"Ini sebagai pembelajaran untuk kita semua, kami sebagai penyidik apabila ingin memasang plang terhadap objek tidak bergerak, ini harus mendapat izin pengadilan terlebih dahulu. Izin penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak dapat izin penetapan pengadilan baru kami pasang plang," imbuhnya.