Kuasa hukum terdakwa Arif Rachman Arifin, Junaidi Saibih, meragukan kompetensi saksi ahli ITE Ronny di kasus obstruction of justice (OOJ) perkara kematian Brigadir Yosua Hutabarat. Sebab, pendidikan saksi ahli disebut S1 manajemen informatika dan S2 ilmu komputer, bukan ahli pidana ITE.
"Pekerjaan ahli sebagai dosen ternyata dosen manajemen informatika bukan dosen ilmu hukum. Kami meragukan kompetensi ahli terkait pemahaman pasal pidana, karena tidak menempuh pendidikan sarjana Hukum, sehingga diragukan pemahaman tentang asas hukum," tutur Junaidi kepada wartawan, Sabtu (17/12/2022).
Menurut Junaidi, hal itu diperkuat dengan pernyataan saksi ahli ITE tersebut, bahwa hanya mampu menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan pasal UU ITE saja, tidak dengan pasal UU yang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jawaban ini semakin mempertegas keraguan kami terhadap kompetensi ahli untuk memberikan pendapat tentang hukum pidana ITE," jelas Junaidi.
Junaidi mengatakan dasar kesimpulan dan pendapat ahli ITE tersebut adalah isi BAP yang menyatakan bahwa Arif Rachman Arifin telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pernyataannya pun berdasarkan kronologis dan cerita penyidik saja, sementara apabila fakta yang ada berbeda maka jawaban ahli pasti dapat berubah.
"Kami kemudian memastikan objek pidana yang dimaksud dalam pendapat ahli tentang pemenuhan unsur tindak pidana dalam Pasal 32 ayat 1 UU ITE dan Pasal 33 UU ITE. Ahli menjawab 'untuk objek Pasal 33 UU ITE adalah sistem CCTV dan untuk Pasal 32 ayat 1 UU ITE adalah isi yang tersimpan dalam DVR'," kata Junaedi.
Ketika saksi ahli berkesimpulan bahwa terdakwa melakukan pelanggaran hukum, sambungnya, maka menjadi pertanyaan cara dari terdakwa melakukan perbuatan pidana mengosongkan isi DVR CCTV.
"Ahli menjawab tidak tahu bagaimana caranya karena penyidik tidak menceritakan bagaimana cara terdakwa mengosongkan isi DVR," ujarnya.
Junaidi sempat mempertanyakan ke saksi ahli ITE terkait perbuatan yang menjadi unsur pasal, yakni tindakan menonton dan menyalin atau copy isi dari CCTV. Sementara berdasarkan Pasal 32 ayat 1 UU ITE, macam tindakan yang dilarang adalah mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, dan menyembunyikan.
"Ahli kemudian menjawab tindakan menonton tidak termasuk tindakan yang dilarang, sedangkan tindakan mengcopy, sebenarnya ada bermacam perspektif dan tidak ada tindakan yang benar-benar persis dipersamakan dengan mengcopy atau menggandakan. Kalau transmisi harus ada pengiriman dan memindahkan atau move, berarti file asalnya hilang. Sedangkan copy tidak menghilangkan data asal. Hasil copy dalam UU ITE dipersamakan dengan data asli," beber Junaidi.
Lebih lanjut, kuasa hukum juga menggali pendapat ahli ITE terkait tindakan terdakwa Arif Rachman Arifin mematahkan laptop. Ahli ITE pun menerangkan bahwa sesungguhnya jika laptop hanya menjadi sarana menonton maka laptop itu tidak terkait dengan tindak pidana.
"Tetapi jika sempat dilakukan transmisi ke laptop, maka telah tejadi perbuatan transmisi. Ahli menambahkan bahwa untuk mengetahui apakah terjadi transmisi maka laptop perlu diperiksa forensik dan mohon ditanyakan kepada ahli forensik," ujarnya.
Sementara itu, masih kata Junaidi, ahli puslabfor menyatakan isi data dari laptop tersebut tidak dapat diperiksa. Sedangkan di dalam hardisk eksternal milik Baiquni, diperoleh data elektronik berdurasi 2 jam terkait rekaman CCTV.
"Ahli labfor telah melakukan pemeriksaan dan hasilnya adalah tidak ada manipulasi atau pengubahan, penambahan, pengurangan pada data tersebut. Data elektronik ini berada dalam hardisk yang diserahkan secara sukarela oleh Baiquni kepada penyidik. Baiquni melakukan video call dengan istrinya menggunakan hape penyidik dan mengarahkan istrinya untuk membawa seluruh peralatan elektronik miliknya, termasuk flashdisk dan hardisk," Junaidi menandaskan.
Senada, kuasa hukum Arif Rachman Arifin, Marcella Santoso, menilai perbuatan kliennya merusak laptop bukanlah tindakan yang melawan hukum. "Ahli ITE menerangkan tindakan AKBP Arif Rachman mematahkan laptop berisi file CCTV Brigadir Yosua merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum," kata Marcella.
Marcella mengatakan bukti yang berkaitan dengan kasus Ferdy Sambo sudah disalin sebelum laptop tersebut dipatahkan. Marcella juga menegaskan jika data yang ada di laptop tersebut bukan CCTV.
"Ini file yang dibuat Baiquni. File tersebut masih ada di hardisk dan diserahkan secara sukarela ke penyidik. Apa yang ada di laptop bukan CCTV. Ahli Puslabfor tidak dapat memastikan apa isi laptop," kata Marcella.
Marcella juga menyebut laptop tersebut hanya digunakan untuk menonton CCTV dan tidak ada transmisi di laptop tersebut. Namun, dalam persidangan laptop dijadikan sebagai barang bukti pembunuhan.
"Laptop dianggap sebagai barang bukti tindak pidana pembunuhan sehingga memiliki nilai lain. Tapi ketika ditanya apa kaitan laptop dengan pembunuhan untuk membuktikan apa? Ahli pidana tidak bisa menjelaskan apa peran laptop sebagai barang bukti," kata Marcella.
Simak Video: Hakim ke Sambo: Punya Kedudukan Bagus, Tapi Tak Bisa Tahan Emosi
Mengenai tindakan melawan hukum lain dalam hal mematahkan laptop, Marcella kemudian berbicara terkait kepemilikan laptop yang dipatahkan. Dia menyebut pemilik laptop tidak keberatan sewaktu laptopnya dipatahkan.
"Kalau laptop dipandang sebagai milik BW, maka selama BW tidak keberatan maka bukan pidana," pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ahli ITE Ronny menerangkan tindakan Arif yang mematahkan laptop berisi file CCTV Brigadir Yosua Hutabarat menjadi beberapa bagian merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum.
Ronny menjelaskan aturan hukumnya. Ronny menyebut perbuatan Arif itu bertentangan dengan hukum. Dia menyebut laptop yang dirusak Arif itu sejatinya dapat digunakan untuk mengungkap kasus kematian Brigadir Yosua Hutabarat.
"Kemudian sebelumnya seingat saya sudah dihapus semua file itu ya, menurut saya bahwa itu bertentangan dengan hukum karena itu barang dapat digunakan untuk mengungkap kasus kematian di Duren Tiga," kata Ronny di persidangan.
(asp/rfs)