Berkas perkara milik Tri Atmoko selaku penyuap di kasus pengurusan restitusi pajak pembangunan tol Solo-Kertosono telah diserahkan Jaksa KPK. Tri segera menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Surabaya.
"Hari ini (17/10), Jaksa KPK Wawan Yunarwanto telah selesai melimpahkan berkas perkara dan surat dakwaan dengan Terdakwa Tri Atmoko sebagai pemberi dalam perkara suap pengurusan restitusi pajak proyek pembangunan jalan tol Solo-Kertosono ke Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya," kata Plt Juru Bicara bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding kepada wartawan, Senin (17/10/2022).
Selanjutnya, kata Ipi, status penahanan Tri Atmoko bakal menjadi wewenang pengadilan Tipikor. "Status penahanan Terdakwa beralih menjadi wewenang Pengadilan Tipikor," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Jaksa KPK bakal menunggu penetapan jadwal sidang perdana dan penunjukan hakim. Nantinya, sidang pertama bakal dijadwalkan dengan agenda pembacaan dakwaan.
"Tim Jaksa saat ini masih menunggu diterbitkannya penetapan penunjukan Majelis Hakim dan penetapan hari sidang dengan agenda awal yaitu pembacaan surat dakwaan," tutup Ipi.
Diberitakan sebelumnya, KPK menahan sejumlah pihak dalam dugaan tindak pidana korupsi (TPK) penerimaan hadiah atau janji pembayaran restitusi pajak Tol Solo-Kertosono. Dalam perkara ini, seorang pegawai pajak ditetapkan sebagai penerima suap.
"KPK melakukan penyelidikan dan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan berikutnya KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jumat (5/8/2022).
Adapun ketiga tersangka itu adalah:
Sebagai Pemberi:
- Tri Atmoko selaku kuasa joint operation China Road and Bridge Corrporation (CRBC), PT Wika, dan PT PP.
Sebagai Penerima:
- Abdul Rachman selaku Supervisor Tim Pemeriksa Pajak KPP Pare; dan
- Suheri selaku pihak swasta.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'Bamsoet Minta Sistem Demokrasi RI Dievaluasi':
Asep mengungkapkan, sebagai pelaksana pembangunan proyek Tol Solo-Kertosono, CRCB, PT Wika, dan PT PP terdaftar sebagai salah satu wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Pare, Jawa Timur. Kemudian, sekitar 2017, ketiga perusahaan itu mengajukan restitusi pajak pada 2016 ke KPP Pare.
KPP Pare pun lantas mengeluarkan surat kepada joint operation itu dengan maksud pemberitahuan diadakannya pemeriksaan lapangan oleh tim pemeriksa pajak. Mengetahui hal itu, Wen Yuegang selaku Chairman Board of Management Joint Cooperation menunjuk Tri Atmoko untuk mengurusnya ke KPP Pare.
"Dari keseluruhan restitusi pajak senilai Rp 13,2 miliar yang diajukan, diduga ada inisiatif Tri Atmoko untuk memberikan sejumlah uang kepada Abdul Rachman dan tim agar pengajuan restitusi dapat disetujui," jelas Asep.
Abdul Rachman, kata Asep, kemudian menyetujui permintaan Tri Atmoko dengan meminta imbalan berupa fee 10 persen dari nilai restitusi senilai hampir Rp 1 miliar. Uang tersebut diberikan lewat orang kepercayaan Tri Atmoko.
Sekitar 2018, Tri Atmoko menyerahkan uang tersebut dengan menyebut istilah 'apelnya kroak', yang berarti uang permintaan yang diinginkan Abdul Rachman tak terpenuhi sepenuhnya. Asep menyebut Tri Atmoko hanya menyanggupi Rp 895 juta.
Sejatinya, Abdul Rachman mengarahkan Tri Atmoko untuk menyerahkan uang tersebut di kantor pusat Dirjen Pajak di Jakarta. Kemudian, lokasi tersebut dipindahkan ke salah satu jalan aparat penegak hukum di kawasan Panglima Polim, Blok M, Jakarta Selatan.
Akibat perbuatannya, Tri Atmoko disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, Abdul Rachman dan Suheri sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.