Partai Demokrat membalas Politikus PDIP Adian Napitupulu yang mengungkap perbedaan data soal kenaikan BBM era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Demokrat menyebut pernyataan Adian itu bentuk penyesatan logika.
Hal itu diungkap oleh Sekretaris Bakomstra DPP Partai Demokrat Hendri Teja. Dia mengaku pernyataan Adian itu perlu diluruskan.
"Tulisan Bang Adian Napitupulu berjudul 'Sebelum Demokrat Demo baiknya belajar matematika dan sejarah dulu' patut diluruskan, karena banyak penyesatan logika di sana-sini," kata Hendri kepada wartawan, Kamis (8/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendri meminta Adian untuk mengecek datanya kembali. Dia menyebut kebijakan kenaikan harga BBM era SBY tergantung pada nilai minyak mentah dunia.
"Pertama, Adian mesti crosscheck data. Kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia. Jika harga minyak mentah dunia naik, maka harga BBM naik, dan begitu sebaliknya. Makanya, era SBY pernah menurunkan harga BBM Premium hingga Rp 4.500 ketika harga minyak mentah dunia turun. Sementara pada Juli 2018, ketika harga minyak mentah dunia meroket sampai US$ 128,08 per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM Premium di angka Rp 6 ribu," kata Hendri.
Hendri lantas membandingkan kebijakan harga BBM di era Jokowi. Menurutnya, pemerintahan Jokowi langsung mematok harga dan tidak merujuk harga minyak dunia.
"Bandingkan dengan era Jokowi yang mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018. Padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya. Misalnya pada Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah, yaitu US$ 27,02 per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp 7.900," ujar Hendri.
"Bisa Anda bayangkan? Harga minyak mentah dunia lebih murah US$ 100 dollar dari era SBY, tapi harga BBM era Jokowi justru lebih mahal Rp 1.900," lanjutnya.
Hendri juga mengungkit saat Jokowi menolak kenaikan BBM saat menjabat sebagai Gubernur DKI, padahal SBY telah menaikkan UMP sebesar pada 2013 sebesar 44%. Hendri lalu membandingkan ketika Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi UMP 2022, tapi malah digugat.
"Kedua, jika mengacu pada UMP Jakarta 2013, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan ngotot menolak kenaikan BBM, pemerintahan SBY telah menetapkan peraturan terkait kebutuhan hidup layak sehingga UMP 2012 ke 2013 bisa naik 44%. Bandingkan dengan kenaikan BBM tahun ini, di mana UMP Jakarta 2022 cuma tumbuh 0,8% dari 2021. Tragisnya, setelah Anies merevisi UMP 2022 Jakarta sebesar 5,1 persen, dia malah digugat ke pengadilan," tutur Hendri.
Lebih lanjut Hendri juga mempertanyakan maksud Adian yang bangga ketika Petral dibubarkan. Menurutnya, pembubaran Petral tidak berdampak terhadap kebijakan harga BBM di RI.
"Ketiga, apa pula maksud Adian membangga-banggakan pembubaran Petral? Bukankah Pertamina masih merugi? Bukankah Progam BBM 1 harga gagal? Bukankah harga BBM tetap mahal ketika harga minyak mentah dunia turun, tetapi naik ketika harga minyak mentah dunia naik? Jadi, apa sebenarnya dampak pembubaran Petral terhadap turunnya harga BBM? Nggak tampak juga kan?" ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman berikut
Saksikan juga 'Erick Soal BBM: Kita Bukan Naikkan Harga, Tapi Pengurangan Subsidi':
Kemudian, Hendri menyindir soal pembangunan jalan tol yang dibanggakan Adian. Dia menyebut pembangunan jalan tol itu tidak sama sekali berkaitan dengan Jokowi. Tapi di sisi lain, lanjut Hendri, Adian mengkritik fungsi pembangunan jalan tol yang tak dirasakan.
"Keempat, saya jadi bingung ketika Adian mengaitkan pembangunan jalan tol sebagai indikator kesuksesan seorang Jokowi. Bukankah mestinya ini jadi indikator kesuksesan Dirut BUMN Jasa Marga? Indikator kesuksesan presidennya mestinya beyond itu dong," ucapnya.
"Bukankah maksud pembangunan jalan tol ini demi tujuan ekonomi, agar biaya logistik murah? Faktanya, hingga hari ini biaya logistik Indonesia masih yang termahal di ASEAN. Mengapa, karena pengangkutan logistik via darat itu mahal. Mestinya, jika yang dikembangkan adalah tol laut-satu janji Jokowi yang juga belum jelas realisasinya. Namun, menurut Faisal Basri, hari ini hanya sekitar 10 persen saja logistik di Indonesia yang diangkut lewat laut," lanjut Hendri.
Singgung PDIP
Hendri pun menyindir keberpihakan pemerintah Jokowi terhadap rakyat kecil. Padahal menurutnya, Jokowi berasal dari partai yang mengklaim berpihak pada wong cilik.
"Dari penjelasan di atas maka era Jokowi sesungguhnya merupakan era tergerusnya keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Tragis memang. Pasalnya, Jokowi dicitrakan sebagai petugas partai dari PDIP-- yang selama ini mengklaim sebagai partai wong cilik. Bahkan PDIP sempat mengorganisasi unjuk rasa, menangis bombay, serta menolak BLT dan BSLM ketika harga BBM dinaikan tipis-tipis pada era SBY," ujarnya.
Hendri meminta Adian untuk mempelajari detail terkait sejarah kenaikan BBM. Tidak hanya menjadi pendukung pemerintah yang membabi buta.
"Saya menyarankan agar Bang Adian bisa lebih telisik membaca data, dan catatan sejarah sehingga tidak terjebak menjadi pendukung pemerintah yang membabi buta," ucapnya.
Cara Berpikir Adian Tak NKRI
Terpisah, Wasekjen Demokrat Irwan mengkritik cara berpikir Adian karena menyamaratakan kemampuan daya beli masyarakat. Irwan menyebut cara berpikir Adian tidak NKRI.
"Kita tidak bisa menyamaratakan kemampuan beli masyarakat seperti logika berpikir yang salah dari Bung Adian. UMP itu berbeda-beda di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan harga BBM sama secara nasional (simetris). Cara pikirnya tidak NKRI," kata Irwan kepada wartawan, Kamis (8/9).
"Bagaimana nasib masyarakat dengan UMP yang tergolong kecil? Mereka tentunya akan kesusahan dengan kebijakan kenaikan harga BBM ini. Harusnya pemerintah memikirkan juga dampak asimetrisnya dari berbedanya UMP dan kemampuan masyarakat kita. Jadi, perlu belajar matematika lagi," imbuhnya.
Irwan melihat menaikkan harga BBM bukan solusi yang tepat saat ini. Sebab, sebut dia, masyarakat saat ini sedang masa pemulihan pascapandemi COVID-19.
"Menurut kami menaikkan harga BBM bukan solusi untuk saat ini, karena saat ini kita baru pulih pascaCOVID. Ibarat orang yang baru sembuh dari sakit, belum sembuh benar, sudah disuruh berlari sekencang-kencangnya. Bisa jatuh kita," ucap Irwan.
Lebih lanjut Irwan menyebut kenaikan harga BBM era SBY menjadi Presiden ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Daripada menaikkan harga BBM, Irwan menyarankan pemerintah untuk membangun sistem subsidi BBM yang tepat sasaran.
"Kenaikan BBM di zaman SBY dilakukan hati-hati. SBY meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan meningkatnya pendapatan per kapita 13%, pertumbuhan ekonomi sampai 6%, pengangguran turun 5,7%," sebutnya.
"Menurut pemerintah sendiri, permasalahan BBM ini adalah soal tidak tepat sasaran. Seharusnya masalah ini yang diperbaiki dan dicari solusi. Kenapa harus dinaikan BBM-nya dan harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia yang berbeda-beda kemampuan daya belinya di setiap kabupaten/kota?" pungkasnya.
Sebelumnya, Adian bereaksi terkait sikap elite PDIP yang menangis saat menyampaikan penolakan kenaikan harga BBM pada era Presiden SBY.
Adian menjabarkan datanya seputar kenaikan harga BBM di era SBY dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Adian menyebut kenaikan harga BBM era SBY lebih besar daripada era Jokowi.
"Di era SBY, total kenaikan harga BBM (Premium) Rp 4.690. Sementara di era Jokowi total kenaikan BBM jenis Premium atau Pertalite Rp 3.500. Jadi SBY menaikkan BBM lebih mahal Rp 1.190 dari Jokowi," kata Adian kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).
Adian lalu memaparkan data harga BBM dan upah minimum suatu daerah saat SBY menjabat dan Jokowi menjabat. Anggota Komisi VII DPR RI itu menjadikan Jakarta sebagai contohnya.
"Di era SBY, upah minimum, contoh DKI, Rp 2,2 juta untuk tahun 2013. Dengan BBM harga 6.500 per liter, maka upah satu bulan hanya dapat 338 liter per bulan. Di era Jokowi, hari ini BBM Rp 10 ribu, tapi upah minimum Rp 4,641 juta per bulan," papar Adian.
"Dengan demikian, maka di era Jokowi setiap bulan upah pekerja senilai dengan 464 liter BBM. Jadi ada selisih kemampuan upah membeli BBM antara SBY dan Jokowi sebesar 126 liter," imbuhnya.