Letnan Jenderal (Purnawirawan) Djaja Suparman bakal segera dipenjara gara-gara kasus korupsi era dahulu. Dia bersurat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Istana merespons bahwa pihaknya tidak ikut campur urusan hukum itu.
Letjen (Purn) Djadja Suparman adalah mantan Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, dia menjabat pada 1997-1998. Kasus yang membuatnya segera dipenjara adalah perkara korupsi soal ruilslag (tukar guling) lahan untuk tol di Jawa Timur. Kasus bermula pada 1998.
Sebagaimana diberitakan detikcom, Djaja Suparman menerima Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998. Uang itu digunakan untuk membeli tanah 20 hektare di Pasuruan, merenovasi markas batalion di Tuban, dan mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sisanya, Rp 13,3 miliar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka Djaja didakwa korupsi uang negara Rp 13,3 miliar.
Pada persidangan 27 September 2013, ketua majelis hakim Letnan Jenderal Hidayat Manao menyatakan Djaja terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer, serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Djadja Suparman bersurat ke Jokowi:
Kirim surat ke Jokowi
Djaja Suparman menulis surat terbuka yang ditujukan untuk Presiden Jokowi. Dalam surat itu, dia menyatakan merupakan korban pembunuhan karakter. Soalnya, Inspektorat Jenderal Angkatan Darat TNI dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengatakan Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.
"Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum," kata Djadja dalam keterangannya kepada pers, Selasa (5/7) pekan lalu.
Dia heran kenapa kasusnya baru dieksekusi sekarang. Padahal putusan hakim militer sudah diketok sejak 2016. Dia mengaku sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi pada 2016 agar dieksekusi, tapi permintaan itu ditolak.
"Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara?" ujar Djadja.
Djadja menilai ia mengalami pembunuhan karakter selama 22 tahun terakhir. Tujuannya adalah menghambat dan menghancurkan karier dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purnabakti.
"Sehingga tanpa disadari oleh pejabat terkait dalam perkaranya negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat," ujar Djadja. Namun dia siap dipenjara.
"Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022. Mereka ingin saya mati di penjara!" kata Djaja.
Selanjutnya, Istana tak ikut campur.
Istana tak ikut campur
Istana Kepresidenan merespons surat terbuka Djadja Suparman yang ditujukan ke Presiden Jokowi. Istana menegaskan pemerintah tak boleh mengintervensi kasus hukum.
"Kalau itu kasus hukum murni pemerintah tidak boleh intervensi," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko lewat pesan singkat kepada detikcom, Senin (11/7/2022).
Moeldoko menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada proses hukum yang berlaku. Dia menegaskan pemerintah tak boleh ikut campur.