Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan perkara korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia yang kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) berbeda dengan yang pernah ditangani KPK. Apa perbedaannya?
Dirangkum detikcom, Senin (27/6/2022), perkara mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar yang dulu ditangani KPK adalah berkaitan dengan penerimaan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
KPK saat itu mendakwa Emirsyah Satar dengan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
berikut bunyinya:
Pasal 12; Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar
huruf b: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kedua, Emirsyah didakwa Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sedangkan bunyi pasal 3 UU TPPU:
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Dakwaan Emirsyah-Soetikno
Dalam dakwaan yang disampaikan KPK, Emirsyah menerima suap yang jumlahnya sekitar RP 46 miliar dari Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedardjo, dalam perkara ini Soetikno juga turut diadili.
Emirsyah menerima suap secara bertahap, dengan rincian;
- Rp 5.859.794.797
- USD 884.200 (atau sekitar Rp 12,3 miliar)
- EUR 1.020.975 (atau sekitar Rp 15,9 miliar)
- SGD 1.189.208 (atau sekitar Rp 12,3 miliar)
Suap berasal dari Airbus S.A.S, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc. Untuk pemberian dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR mengalir melalui Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedardjo, sedangkan dari Bombardier disebut melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.
Selain didakwa menerima suap, Emirsyah dan Soetikno didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Emirsyah menerima suap dari Soetikno, kemudian mentransfer uang itu ke sejumlah rekening atas nama orang lain dan menitipkan uang itu ke orang lain di rekening bank luar negeri.
Terkait kasus ini, Emirsyah dan Soetikno sudah menjalani masa pidana di Lapas Sukamiskin. Emirsyah menjalani pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Sedangkan Soetikno Soedardjo divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Keduanya juga sempat mengajukan upaya kasasi namun kandas.
Lalu, bagaimana dengan perkara yang kini ditangani Kejagung?
Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan perkara yang kini ditangani pihaknya berbeda dengan yang pernah ditangani oleh KPK. Perbedaannya adalah perkara yang ditangani KPK berkaitan dengan penerimaan suap.
"Jadi untuk kasus ES ini tentunya adalah dalam rangka zaman direksi dia, ini kan terjadinya pada waktu itu, ini pertanggungjawaban atas pelaksanaan kerja selama dia menjabat sebagai direktur karena yang di KPK adalah sebatas mengenai suap," kata Burhanuddin dalam jumpa pers di gedung Menara Kartika Kejagung, Jaksel, Senin (27/6).
Burhanuddin menerangkan kasus Garuda Indonesia yang ditangani Kejagung saat ini berkaitan dengan pengadaan dan kontrak-kontrak yang terjadi pada zaman kepemimpinan Emirsyah Satar. Burhanuddin memastikan tidak ada asas nebis in idem dalam kasus yang ditangani Kejagung dan KPK.
"Ini mulai dari pengadaannya dan tentunya tentang kontrak-kontrak yang ada, itu yang minta pertanggungjawaban, yang pasti bukan nibes in idem," kata Burhanuddin.
Emirsyah dan Soetikno ditetapkan tersangka oleh Kejagung terkait pengadaan pesawat Garuda. Perbuatan mereka telah merugikan negara Rp 8,8 triliun.
"Kejaksaan telah melakukan penyidikan TPK PT Garuda, ini tindak lanjut pertama. Hari ini kami mendapat penyerahan hasil audit pemeriksaan kerugian negara PT Garuda senilai kalau diindonesiakan Rp 8,8 triliun, itu kerugian yang ditimbulkan oleh PT Garuda," papar Burhanuddin.
Karena itu, pasal yang disangkakan di perkara ini adalah Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat 1 diketahui tentang kerugian negara. Berikut bunyinya:
Pasal 2 ayat 1;
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Simak Video: Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru Kasus Korupsi Garuda Indonesia