detik's Advocate

Mama Saya Tidak Diberi Nafkah Papa, Bagaimana Secara Hukum?

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 17 Jun 2022 10:00 WIB
Ilustrasi (Foto: dok. Istimewa)
Jakarta -

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih kerap terjadi di berbagai daerah. Lalu apakah seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya bisa dikenai pidana?

Hal itu menjadi pertanyaan pembaca yang diterima detik's Advocate:

Halo detik's Advocate
Saya mau konsultasi

Mama saya kerap juga tidak diberi nafkah bulanan dengan alasan Papa tidak ada pekerjaan yang pasti. Papa juga pernah memvideokan ucapan yang menjelek-jelekkan Mama. Tapi Mama belum berani mengambil langkah hukum, baik menceraikan atau lapor ke kepolisian.

Lalu sebetulnya bagaimana secara hukum dalam kasus Mama-Papa saya?

Pembaca detikcom juga bisa mengirim pertanyaan serupa dengan dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut jawabannya:

Terima kasih atas pertanyaannya.

Dwi

Sulsel

Pertama, hubungan rumah tangga diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keduanya memberikan kewajiban kepada suami untuk memberikan segala kebutuhan berumah tangga.

Dalam KHI Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) huruf a, b, c menyatakan:

"Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami juga dibebani untuk menanggung;
a. nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak"

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan hanya membebankan nafkah dan penghidupan kepada suami. Namun, UU Perkawinan tidak memberikan sanksi pada suami apabila suami tidak menjalankan kewajiban sebagaimana disebutkan di atas.

Tapi UU Perkawinan memberikan ruang bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian dengan alasan suami tidak memberi nafkah dan menjalankan kewajibannya.

Ancaman pemidanaan terhadap orang yang meninggalkan orang yang perlu ditolong. Pasal 304 menyatakan:

'Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'

Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga/KDRT, Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sedangkan perbuatan penelantaran sendiri mulai diakui sebagai delik pidana pada tahun 2002 melalui UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 77 huruf b dan c UU Perlindungan Anak menyatakan:

"Setiap orang yang melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."

Ketentuan itu selanjutnya dilengkapi melalui UU tentang Perlindungan Anak. Pasal Pasal 76B menyatakan:

"Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran."

Berdasarkan UU Perlindungan Anak, perbuatan penelantaran terhadap anak diancam dengan ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77B sebagai berikut:

"Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)."

Penelantaran dalam UU Perlindungan Anak hanya ditujukan untuk melindungi orang berusia anak, yaitu yang belum berumur 18 tahun. Sementara penelantaran dalam UU PKDRT memperluas jangkauannya tidak hanya untuk anak tetapi juga istri dan untuk siapapun orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.

Adapun UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Pasal 9 mengatur:

Ruang lingkup penelantaran rumah tangga adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Simak juga 'Di-ghosting Pasangan, Bolehkah Saya Nikah Lagi?':






(asp/asp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork