Hari itu, Maria mengungkapkan kegelisahannya saat menunggu hari-hari menuju proses transplantasi hati bagi Cio, anaknya. Setelah menunggu beberapa minggu di rumah singgah milik Yayasan Rumah Satu Hati dan melewati berbagai langkah administrative serta medis, akhirnya surat pemberitahuan tanggal tindakan itu sampai di tangannya.
"Rasanya ya sedikit ada juga kecemasan, deg-degan. Ya namanya mau mendonorkan organ tubuh, ada juga perasaan senang bisa donor untuk anak. Yang lain (orang tua) juga terkadang tidak bisa donor untuk anak. Saya merasa bangga bisa donor untuk anak. Mudah-mudahan hati saya cocok untuk anak saya," ungkap Maria dalam program Sosok Minggu, (22/5/2022).
Baca juga: Sepotong Hati untuk Anakku |
Bagi Maria, keputusan untuk mendonor telah didiskusikan dahulu dengan suaminya. Ada berbagai pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum terputus kesimpulan, ibu-lah yang harus berbagi hati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sempat ayahnya yang maju, tapi kami berkompromi lagi karena ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga. Biar saya saja yang maju karena kan saya di rumah saja. Ayahnya kan cari nafkah, takutnya nanti tidak kuat atau bagaimana. Saya berkomitmen, saya yang maju," terangnya.
Cio adalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang menderita penyakit atresia bilier. Beruntung, orang tua Cio lolos screening sebagai pendonor hati untuk anaknya. Sebab, belum tentu DNA yang identic dapat serta-merta menjadi pendonor hati.
Hery, ketua yayasan Rumah Satu Hati mengatakan bahwa waktu yang dimiliki anak-anak atresia bilier tidaklah banyak. Sebab, kerusakan hati bisa cepat menyebar dan merusak organ tubuh lain. Maka, Hery pun sering berdiskusi dengan para orang tua yang berkejaran dengan waktu agar tetap memahami resiko yang dihadapi.
Sejak yayasan ini berdiri, Hery bukan hanya membantu mencarikan bantuan material saja. Sosialisasi serta pendampingan kepada para penyintas terus dijalankan kepada ratusan keluarga dengan masalah serupa.
Bagi para pengurus yayasan, bagian tugas terberat mereka adalah menginformasikan bahwa orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk menyelamatkan anak mereka.
"Kami memang tidak bisa bilang kalau anak ini akan berat sampai meninggal dunia di depan orang tuanya. Tapi kata-kata kami soal realita mungkin sudah mewakili tindakan orang tua yang harus ikhlas jika nanti anaknya berpulang tanpa solusi donor," ungkap Hery.
Seperti yang terjadi pada Sarina Ela, salah satu orang tua yang tinggal di rumah singgah di kawasan jalan Kenari Jakarta Pusat itu. Hingga saat ini, ibu dari Serafina yang berumur 18 bulan itu masih menunggu orang yang mau mendonorkan hati. Sejak tahun lalu, perempuan yang berasal dari Kalimantan Barat ini rutin membawa anaknya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk memperoleh pengobatan. Sayangnya, ia serta suaminya bukanlah donor yang cocok bagi anaknya.
"Kami sampai sekarang kesulitan di pendonornya karena kedua orang tuanya tidak cocok.
Kemarin ayahnya baru screening tahap awal, ada masalah kesehatan yang tidak bisa ditoleransi jadi tidak bisa maju untuk jadi pendonor. Kalau saya beda golongan darah, jadi tidak bisa. Kalau beda golongan darah, rejeksinya sangat kuat," jelasnya.
Hery mengunkapkan, situasi ini sangat rentan bagi orang tua. Oleh sebab itu, pendampingan harus terus dilakukan. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan, utamanya harus rajin memeriksakan kondisi Serafina serta memenuhi asupan gizi tinggi baginya.
"Ya kalau saat ini mungkin tidak bisa menentukan waktunya sampai berapa lama. Tapi sepertinya kalau sampai dua tahun itu benar-benar sudah sangat berat bagi Serafina. Sekarang satu tahun delapan bulan, jadi mungkin harus dengan cepat dapa solusi donor. Kalau Serafina ini tidak bisa cangkok hati, ya mungkin resiko terberatnya ialah kematiannya. Untuk bertahan hidup semakin sulit karena fungsi hatinya sudah mengalami kerusakan yang sangat berat.," tutup Hery.